BAB
I
PENDAHULUAN
1.1.
Latar Belakang
Sunah atau hadis merupakan sumber
ajaran islam yang kedua sesudah Al-Qur’an. Pada topik ini akan dijelaskan
pegertiab sunah/hadis, macam-macamnya, fungsi dan perananya, para penelitinya
dan perbedaanya dengan Al-Quran. Setelah mempelajari topik ini anda diharapkan
memiliki pengetahuan, wawasan, pemahaman, dan pada akhirnya termotivasi untuk
mengamal kanya dalam kehidupan sehari-hari.
Karena Rasulillah SAW itu adalah
suri teladan bagi umatnya dalam menjalani kehidupan yang baik dan benar sesuai
dengan tuntunan Allah SWT dan Rasulnya. Sebagaimana firman allah SWT dalam
surat al-Ahzab ayat 21 yang terjemahanya sebagai berikut.
“sesunguhnya
telah ada pada (diri) Rasullulah itu suri teladan yang baik bagimu (yaitu) bagi
orang yang mengaharap (rahmat) Allah dan (kedatangan) hari Akhir dan orang yang
bayak menyebut Allah.
1.2.
Rumusan masalah
1. Pegertian sunah dan tingkatanya
2. kedudukan sunah dalam islam
3. pegertian dan ketentuan ijtihad
4. kedudukan ijtihat dalam islam
1.3.Tujuan
1. Mahasiswa
mampu memahami pegertian sunah dan tingkatanya.
2. Mahasiswa
mampu mengetahui kedudukan sunah dalam islam.
3. Mahasiswa
mampu memahami pegertian dan ketentuan ijtihad.
4. Masiswa
mampu memahami kedudukan ijtihad dalam islam.
BAB
II
PEMBAHASAN
2.1. Pengertian sunah
dan tingkatanya
A.
pegertian sunah atau hadis.
Sunah dan hadis merupakan dua istilah
yang berbeda dari segi bahasa tetapi memiliki subtansi yang sama. Dari segi
bahasa, sunnah berarti jalan yang bisa dilalui atau cara yang senantiasa
dilakukan, apakah cara itu sesuatu yang baik atau buruk (Nasrun Harun,
1997:38). Pegertian bahasa ini ditemukan dalam sabdah Rasulullah saw. Yang
terjemahanya berikut ini : barang siapa yang membiasaka sesuatu yang baik di
dalam islam, maka ia menerima pahalanya dan pahala orang-orang sesudahnya yang
mengamalkanya.(H.R.Muslim).
Sedangkan hadis menurut bahasa
khabar atau berita. Yang dimaksud disini adalah khabar atau berita sunah
tersebut. Sunah itu meliputu ucapan, perbuatan dan sikap diamnya nabi saw.
Karena hadis merupakan pemberitaan maka ia terkaitdangan si pembawa berita baik
segi kemampuan daya ingat, sifat atau prilakunya, maupun preses atau
penyampaiyan berita (transmisi) hadis itu sendiri. Atas dasar itulah muncul
penelitian-penelitian tentang keshahihan sebuah hadis oleh para ulama hadis
sesuai dengan metode yang sudah dibangun oleh para ulama terdahulu seperti Imam
Bukhari, dan Muslim. Ilmu tentang itu disebut ilmu mustahalah albadits.
Penjelasan lebih lanjut dapat dilihat dalam pembahasan tentang kualitas hadis.
Sunah menurut istilah dapat dilihat
dari tiga disiplin ilmu, yaitu ilmu hadis, ilmu fiqih dan ilmu ushul fiqh.
Sunah menurut para ahli hadis adalah seluruh yang disandarkan kepada nabi
Muhamd saw, baik berupa perkataan, perbuatan maupun maupun ketetapan atau sifat
sebagai manusia biasa, ahlaknya baik sebalum maupun sesudah beliau diangkat
manjadi Rasul.
Sunah menurut ahli ushul fiqh adalah
segala yang diriwayatkan dari nabi Muhamad saw. Berupa perbuatan, perkataan dan
ketetapan yang berkaitan dengan hukum. Sedangkan sunah menurut para ahli fiqh,
disamping pegrtian yang dikemukakan oleh para ulama ushul fiqh di atas, juga
dimaksudkan sebagai salah satu hukum taklif yang mengandung pegertian perbuatan
yang apabila dikrjalan dapat pahala dan apabila ditinggalkan tidak berdosa.
Sebagaimana yang dipahami oleh kalangan awam.
Terjadinya perbedaan pegertian sunah
dikalangan ahli ushul fiqih dangan ahli fiqh disebabkan perbedaan sudut pandang
masing-masing terhadap sunah. Ulama ushul fiqh memandang bahwa sunnah tersebut
merupakan salah satu sumber atau dalil hukum. Sedangkan ulam fiqh menempatkan
sunah sebagai salah satu hukum taklifi(Nasrun Harun, 1997:38-39)
Sunguhpun demikian, baik ulama ushul
fiqh, ulama fiqih maupun ulama hadis haya merujuk kepada dan berlaku untuk
Nabi-lah orang yang terpilihara dari kesalahan, beliau sendirilah sumber
teladan, sehingga apa yang disunahkanya mengikat seluruh umat Islam (Amir
syarifudin, 1997:75 jilid 1).
B. macam-macam sunah/hadis
Sunah dapat dilihat dari tiga sigi,
yaitu dari segi bentuknya, jumlah orang yang meriwayatkannya dan kualitasnya.
1. Dari
segi bentuknya
Pertama,
sunah qauliyah yaitu ucapan nabi
muhamad SAW yang didengaroleh para sahabat beliau dan disampaikannya kepada
orang lain. Umpamanya, sahabat menyampaikan bahwa ia mendegar Nabi Muhamad SAW
bersabda, “siapa yang tidak melaksanakan
shalat karna tertiduran atau karena ia lupa, hendaklah ia segara mengejarkan
shalat itu ketika tekah ingat”.
Kedua,
sunnah Fi’liyah, yaitu perbuatan yang
dilakukan oleh Nabi Muhamad SAW yang dilihat atau diketahui oleh para sahabat,
kemudian disampaikan dengan orang lain melalui ucapannya. Umpamanya,sahabat
berkata, “saya melihat Nabi Muhamad SAW
shalat sunat dua rekaat setelah shalat zhurur”.
Ketiga.
Sunnah
taqririyah. Yaitu perbuatan seorang
sahabat atau ucapannya dihadapan Nabi atau sepengetahuan Nabi yangtidak
ditangapi atau dicegah oleh Nabi. Diamnya nabi disampaikan sahabat kepada orang
lain dngan ucapan.
Sebagai
Contoh : pernah suatu kali seorang sahabat memakan memakan
daging Dhab (binatang padang pasir sejenis kadal) di depan Nabi SAW, beliau
mengetahui apa yang diamakan oleh sahabat tersebut tetapi beliau tidak melarang
atau merasa keberatan atas perbuataan itu. Kisah tersebut disampaikan oleh
sahabat yang mengetahuinya dengan ucapan sendiri contoh : “saya melihat
seoarang sahabat memakan daging Dgab (binatang padang pasirsejenis kadal)
didekat Nabi Saw, Nabi SAW mengetahui tetapi nabi SAW tidak melarang perbuatan
itu. ( Amir Syarifuddin, 1997; 76).
2. Dari
segi kualitasnya
a. Hadis
shahih
Hadis shahih ialah hadis yang
bersambung sanadnya, yang diriwayatkan oleh rawi yang adil dan dhabith dari
rawi yang lain (juga) adil dan dhabith sampai akhir sanad, dan hadis itu tidak
janggal serta tidak mengandung cacat ( illat).
Syarat-syarat hadis shahih yang
makbul ada enam: (1) rawinya ‘adil, (2) rawinya dhabith, (3) sanadnya
bersambung, (4) mantanya tidak mengandung kerancuan (gharib) dari segi bahasa,
(5) tidak terdapat kecacatan yang dapatmerusak hadis tersebut, seperti isinya
yang bertentangan dengan fakta sejarah.
Contoh hadis shahi adalah hadis
yang diriwayatkan oleh Bukhari dan Mukmin , sebagi berikut :
Riwayatkan
kepada kaami Quthaibah bin sa’id, ia berkata: “meriwayatkan kepada kami jaril
bin al-Qa’qa dari abu zurr’ah dari Abu Hurairah, ia berkata : “ya Rasulullah
siapakah yang paling berhak mendapatkan perlakuan yang baik ? Rasulullah
menjawab:’ibumu; orang itu bertanya laagi ;’kemudian siapa ?Rasulullah menjawab:
‘Ibumu ; orang itu bertanya lagi: kemudian siapa ?’ Rasulullah menjawab:
‘kemudian Bapakmu.”
b. Hadis
hasan
Adalah hadis yang bersambung
sanadnya, diriwayatkan oleh rawi yang adil, yang rendah tingkatkekuatan daya hafalnya,
bahasanya tidak rancu dan tidak bercacat. Contoh hadis hasan adalah hadis yang
diriwayatkan Ahmad, ia berkata :
Yahya bin sa’id meriwaytkan hadis kepada
kami dari Bahzbin Hakim, ia mengatakan, “m eriwayatkan hadis kepadaku bapakku
dari kakekku, katanya ; ‘Aku bertanya : “Ya Rasulullah, kepada siapa aku harus
berbakti ? “rasulullah menjawab:”kepada ibumu.”Aku bertanya: lalu kepada siapa?
“rasulullah menjawab: Ibumu, kemudian bapakmu, kemudian kerabat terdeekat dan
selanjutnya. “Tf5
Sanad
hadis ini bersambung, tak ada kejangalan dan tidak ada cacat, baik dalam
rangkaian sanad maupun mantanya tidak terdapat perbedaan diantara
riwayat-riwayatnya. Akan tetapi salah seorang yang meriwayatkan hadis ini yaitu
Yahya bin Said seorang yang tidak dhabid.
c. Hadis
dha’if
Hadis dha’if adalah hadis-hadis shahi yang tidak
mengandung persyaratan hadis shahih dan
hasan sebagai mana disebut diatas.
Contoh hadis dhoif yang artinya :
“Barangsiapa
yang berjabatan tangan dengan orang yahudi atau nasrani, maka hendaklah dia
berwudu’dan mencucikan tanganya”.
3. Dari
segi jumlah orang yang meriwayatkanya
Dari segi jumalah rawi (orang yang meriwayatkanya)
hadis dapat dikelompokan kedalam dua kelompok :
1). Hadis mutawir
Adalah
hadis yang disampaikan oleh banyak rawi yang tidak memungkinkan mereka sepakat
untuk berdista.
Contoh
hadis mutawir adalah sebagai berikut:
Rasul SAW
bersabda: “barang siapa berbuat dusta atas namaku dengan sengaja, maka
hendaklah ia menepati tempat tingalnya dineraka”.
Hadis ini diriwayatkan dari Nabi Muhamad SAW dengan
redaksi yang sama oleh lebih dari tujuh puluh orang sahabat.
Contoh lainnya:
Rasul SAW
bersabdah: “Al-Qur’an diturunkan atas tujuh huruf”.
Hadis ini diriwayatkan oleh dua puluh orang sahabat.
2). Hadis Masyhur
Adalah hadis yang memiliki sanad terbatas yang lebih
dari dua. Hadis masyhur tersebut ada yang berkualitas shahhi, hasan dan ada
juga yang dha’if.
Rasulullah SAW
bersabdah : “bila salah seorang di antara kamu hendak mendirikan shalat jum’at,
maka hendaklah dia mandi”.
Hadis ini diriwayatkan dari nabi muhamad SAW melalui
bayak sanad contoh hadis masyhur yang hasan
Rasul SAW
bersabdah: “tidak boleh membiyarkan datangnya bahaya dan tidak boleh datangkan
bahaya”.
Hadis ini diriwayatkan dari nabi Muhamad SAW melalui
bayak sanad tetapi dinilai derajatnya hasan oleh Iman Nawawi.
Contoh hadis masyhur yang dha’if:
Rasul SAW bersabdah:”carilah ilmu walau di negeri
cina”
Hadis ini diriwayatkan melalui bayak sanad dari anas
dan abu Hurairah, akan tetapi seluruh sanadnya tidak bebas dari cacat. Oleh
karenanya hadis tersebut jatuh kedalam kategori hadis masyhur yang da’if.
3). Hadis Ahad
Hadis ini
adalah hadis yang diterima dari Nabi Muhammad Saw secara orang perorangan
sampai kepada rawinya yang terakhir (Amir Syarifudin, 1997:82).Hadis ahad ini
diterima dan disampaikan secara berantai dari satu orang ke satu yang lainnya,
begitu seterusnya.
C. Fungsi dan Peranan Sunah
Amir Syarifudin (1997:85-88) mengemukakan fungsi
sunnah terhadap Al-Qur’an sebagai berikut.
a. Fungsi Taqrir,
yaitu memperkokoh hukum yang sudah ditetapkan Al-Qur’an. Misalnya firman
Allah Swt dalam Q.S 2:183b
Risi perintah tentang kewajiban berpuasa bagi umat
Islam. Kemudian datang sunah memperkokohnya seperti sabda Rasulullah Saw yang
terjemahannya sebagai berikut.
Islam didirikan atas lima perkara,persaksian
bahwa tiadaTuhan selain Allah, dan Muhammad itu utusan Allah, mendirikan
shalat, membayar zakat, puasa pada bulan Ramadhan dan naik haji ke baitullah
(H.R. Bukhari)
b. Fungsi
Tafsir / Tafshil, yaitu menafsirkan
atau merinci ayat-ayat Al-Qur’an yang mengandung pengertiansecara global
c. Fungsi Taqyid,
yaitu memberikan batasan terhadap ayat-ayat Al-Qur’an yang mengandung
pengertian secara mutlak
d. Fungsi
Ististna, yaitu memberikan pengecualian terhadap
pernyataan Al-Qur’an yang bersifat umum.
e. Fungsi
Munsyi’ al-hukmu, yaitu membentuk atau menambahkan hukum yang
tidak ditetapkan didalam Al-Qur’an.
Tingkatan-tingkatan dalam Sunnah
Para
ulama membagi sunnah menjadi 3 macam:
1. Sunnah Huda yaitu: pelaksanaannya dimaksudkan sebagai penyempurna atau
pelengkap kewajiban agama, seperti adzan dan sholat berjama’ah. Orang yang
sengaja meninggalkannya dianggap sesat dan berdosa, sehingga apabila penduduk
suatu daerah sepakat untuk meninggalkannya, maka mereka boleh diperangi.
2. Sunnah Zaidah (sunnah tambahan), yaitu hal-hal yang dikerjakan nabi saw., berupa
hal-hal biasa yang bersifat akhlak; seperti etika makan, minum, tidur dan
memakai pakaian. Apabila mukallaf melakukannya adalah lebih baik, sedang bila
ia meninggalkannya, maka hal itu tidak berpengaruh apa-apa yaitu tidak
berkaitan dengan makruh dan keburukan.
3. Nafal, yaitu yang ditetapkan sebagai tambahan atas fardlu, wajib dan
sunnah, seperti shalat tathawwu’ (sunnah yang dilakukan secara
individu). Contohnya seorang melakukan sholat sunnah empat rakaat sebelum
dzuhur. Seseorang yang melakukannya akan mendapatkan pahala dan tak ada hukuman
dan teguran bagi yang meninggalkannya.
2.2. Kedudukan sunah
dalam Islam.
2 Kedudukan Sunnah dalam Islam
Sunnah
adalah syarah bagi al-Qur`an. Tugas Rasulullah SAW adalah:
1.)
Menyampaikan wahyu al-Qur`an:
2.)
Menjelaskan dan menerangkan wahyu al-Qur`an:
Nabi SAW menjelaskan
al-Qur`an itu dengan tiga cara:
a.) dengan
ucapan
b.) dengan
perbuatan
c.) dengan
ketetapannya
oleh karena itu Allah SWT
berfirman:
Karena itu al-Qur`an lebih
membutuhkan kepada al-Sunnah daripada al-Sunnah kepada
al-Qur`an, al-Sunnah itu sama kedudukannya dengan al-Qur`andalam hal
menghalalkan dan mengharamkan. Rasulullah SAW bersabda:
( أَلاَ وَإِنِّيْ أُوْتِيْتُ الْقُرْآنَ وَمِثْلَهُ مَعَهُ )
“Ingatlah aku ini diberi
al-Qur`an dan yang semisalnya bersamanya.” (HR. Ahmad, hakim, Abu
Seluruh umat Islam telah sepakat bahwa hadits Rasul
merupakan sumber dan dasar hukum Islam setelah al qurán, dan umat Islam
diwajibkan mengikuti hadits sebagaimana di wajibkan mengikuti alqur’an.
Alqur’an dan hadits merupakan dua sumber hukum
syari’at Islam yang tetap, yang orang Islam tidak mungkin memahami syari’at
Islam secara mendalam dan lengkap dengan tanpa kembali dengan kedua
sumber Islam tersebut.
Seorang mujtahid dan seorang alim pun tidak
diperbolehkan hanya mencukupkan diri dengan salah satu dari keduanya. Banyak
ayat alqur’an dan hadits yang memberikan pengertian bahwa hadits itu merupakan
sumber hukum Islam selain alqur,an dan wajib di ikuti, baik dalam bentuk
perintah maupun larangannya
Dalam al qurán banyak terdapat ayat yang menegaskan
tentang kewajiban mengikuti Allah yang digandengkan dengan ketaatan mengikuti
Rasul-Nya seperti firman Allah Q.S. ali imran ayat 32
قُلْ أَطِيْعُوااللهَ وَالرَّسُولَ فاِن
تَوَلَّوْا فَاِنَّ اللهَ لاَ يُحِبُّ
الْكَفِرِينَ
Katakanlah, “Taatilah Allah dan Rasulnya; jika kamu
berpaling, sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang kafir” (Q.S ali imran
32)
Di samping itu banyak juga ayat-ayat yang mewajibkan
ketaatan kepada Rasul secara khusus dan terpisah karena pada
dasarnya ketaatan kepada Rasul berarti ketaatan kepada Allah SWT yaitu: Q.S
An-Nisa ayat 65 dan 80,Q.S ali imran ayat 31, Q.S An-Nur ayat 56, 62 dan 63,
Q.S Al-A’raf ayat 158. Dengan demikian dapat
ditetapkan, bahwa apa yang benar yang datang dari Rasululloh menjadi
hujjah yang awajib di ikuti, jika Rasululloh wajib di ikuti dalam kapasitasnya
sebagai seorang rasul, maka wajib pula mengikuti semua hukum hukum yang benar
darinya.
2.3. Pengertian dan
Ketentuan Ijtihad
Ijtihad
berasal dari bahasa Arab yaitu dari kata jabada yang artinya bersunguh-sunguh.
Sedangkan pegertian ijtihad menurut istilah ialah mengunakan seluruh kemampuan
berpikir dengan sunguh-sunguh untuk mengeluarkan atau untuk menetapkan hukum
syara’, dengan jalan mengistimbatkannya dari al-Quran dan sunah Rasul SAW. Orang
yang mengunakan ijtihad dinamakan mujtahid, yaitu para ahli fiqh atau ahli
hukum dan ahli dalam bidang ilmu pengetahuan tertentu yangselalu berusaha
dengan sunguh-sunguh dalam menetapkan hukum agama.
Al-Quran
menyebutkan hukum agama secara global saja, oleh karnaitu perlu dijelaskan
dengan rinci melalui hadis dan sunah Rasul SAW. Namun masih bayak lagi
persoalan yang belum sempat dijelaskan oleh Rasul sedangkan dan beliau sudah
wafat. Kebudayan manusia dari waktu-kewaktu selalu berkembang sesuai dengan
perkem bangan fikiran manusia. Untuk itu diperlukan hukum untuk mengatur
manusia agar tidak keluar dari syariat islam. Hal inilah yang memberi peluang
agar pinti ijtihad selalu dibuka sepanjang masa (Amir, 1989: 221).
Beberapa
metode ijtihad itu dapat dilakukan, antara lain :
a. Ijma’
Ijma’ menurut
istilah ulama ushul (ushuliyyin) ialah kesepakatan semua imam mujtahid diantara
umat Islam pada suatu masa setelah wafatnya Rasul, atas hukum syar’i mengenai
suatu kejadian atau kasus. Apabila ada suatu masalah atau suatu kejadian yang
hendak ditetapkan hukumnya pada suatu masa sesudah Rasulul yang dihadapkan pada
mujtahid, kemudian para mujtahid itu menetapkan hukum masalah atau kejadian
tersebut, maka kesepakatan mereka itu disebut ijma’. Ijma’ itu dijadikan
sebagai dasarhukum setelah Nabi wafat, karna pada masa nabi masih hidup, beliau
merupakan sumber agama untuk rujukan syariat islam, sehingga tidak terdapat
perselisihan dalam menetapkan hukum Islam.
Ijma’
ditinjau dari segi cara mengahsilkannya ada dua macam, yaitu ijam’qauli dan ijma’ sukuti. Ijma’ qauly adalah kesepakatan para mujtahid pada
suatu masa atau hukum suatu peristiwa, setelah para mujtahid itu menampilkan
pendapatnya masing-masing, kemudian terdapat keputusan yang disepakati oleh
semua mujtahid tersebut. Adapun ijma’
sukuti adalah sebagian para mujtahid berfatwa atau menampilkan pendapatnya
mengenai hukum suatu peristiwa, sedangkan para mujtahid yang lainnya diam tanpa
memberikan tanggapan terhadap masalah tersebut.
Contoh
ijma’ di masa sahabat seperti adanya kesepakatan antara para sahabat untuk
membukukan Al-Qur’an dengan sistem penulisan Al-Qur’an menurut urutan seperti
mushaf Al-Qur’an yang ada sekarang. Sistem penulisan Al-Qur’an dengan urutan
surat seperti yang ada sekarang adalah ijma’ sahabat padamasa khalifah Usman
bin Affan , sedangkan pada masa Nabi Muhammad Saw Al-Qur’an ditulis sesuai
dengan urutan turunnya ayat-ayat Al-Qur’an.
b. Qiyas
Qiyas menurut
ulama ushul fiqh adalah menghubungkan
suatu kejadian yang tidak ada nash nya (teks dalil) kepada suatu kejadian lain
yang ada nashnya. Selanjutnya dihubungkan kesamaan illat hukum keduannya dan
diputuskan hukumnya yang sama. Apabila
ada satu kejadian atau masalah yang sudah ditetapkan hukumnya berdasarkan nash
(Al-Qur’an dan sunnah) kemudian ada suatu masalah atau kejadian lain yang
ditetapkan hukumnya, namun tidak ada nash nya secara pasti ada kesamaaanya
illatnya, maka masalah atau kejadian yang belum ditetapkan hukumnya berdasarkan
nash yang ada, karena ada kesamaan illatnya.
c. Maslahah
Mursalah
Maslahah
mursalah adalah cara untuk menetapkan hukum suatu masalah atau kejadian yang
tidak terdapat ketentuannya, baik di dalam Al-Qur’an maupun dalam sunnah,
tetapi penetapan hukum ini berdasarkan pertimbangan kemaslahatan masyarakat dan
kepentingan umum. Menurut ulama ushul dalam maslahah mursalah, tidak ada
penjelasan mengenai mensyariatkan hukum untuk mewujudkan maslahah itu, juga
tidak terdapat dalil yang menunjukkan atas pengakuannya atau pembatalannya.
Maslahah itu bersifat mutlak karena tidak dibatasi dengan dalil pengakuan atau
dalil pembatalan.
d. Istihsan
Istihsan adalah
menetapkan suatu hukum terhadap suatu persoalan atas dasar prinsip-prinsip
kebaikan. Keadilan , kasih sayang dan sebagainya dari Al-Qur’an dan hadits.
e. Urf
Maksud Urf
adalah kebiasan mayoritas masyarakat yang dianngap baik, dalam bentuk perkataan
maupun perbuatan. Urf terdiri dari 2 macam yaitu : Urf shahih maksudnya
kebaikan berulang-ulang dilakukan dan diterima oleh orang banyak, dan tidak
bertentangan dengan agama, sopan santun dan budaya luhur. Urf fasid maksudnya kebiasaan yang berlaku di suatu
tempat meskipun merata pelaksanaanya namun bertentangan dengan agama,
undang-undang negara dan sopan santun.
f. Sadd
al-zari’ah
Maksud sadd
al-zari’ah adalah menutup berbagai peluang atau sarana dapat mengakibatkan
terjatuh kepada sesuatu yang dilarang agama.
Ketentuan
ijtihad
Berbeda dengan al-Qur'an dan
as-Sunnah, ijtihad terikat dengan ketentuan-ketentuan sebagai berikut :
a. Pada dasarnya yang ditetapkan oleh ijtihad
tidak dapat melahirkan keputusan yang mutlak absolut. Sebab ijtihad merupakan
aktifitas akal pikiran manusia yang relatif. Sebagai produk pikiran manusia
yang relatif maka keputusan daripada suatu ijtihad pun adalah relatif.
b. Sesuatu keputusan yang ditetapkan oleh ijtihad,
mungkin berlaku bagi seseorang tapi tidak berlaku bagi orang lain. Berlaku
untuk satu masa / tempat tapi tidak berlaku pada masa / tempat yang lain.
c. Ijtihad
tidak berlaku dalam urusan penambahan ibadah mahdhah. Sebab urusan ibadah
mahdhah hanya diatur oleh Allah dan Rasulullah.
d. Keputusan ijtihad tidak boleh bertentangan
dengan al-Qur'an dan as-Sunnah.
e. Dalam proses berijtihad hendaknya
dipertimbangkan faktor-faktor motifasi, akibat, kemaslahatan umum, kemanfaatan
bersama dan nilai-nilai yang menjadi ciri dan jiwa daripada ajaran Islam.
2.4 Kedudukan Ijtihad dalam Islam
Ijtihad
menempati kedudukan sebagai sumber hukum Islam setelah Al-Qur’an dan Hadits. Dalilnya adalah
1. QS An-Nahl 16:43 dan Al-Anbiya' 21:7
Artinya: : maka bertanyalah
kepada orang yang mempunyai pengetahuan
jika kamu tidak mengetahui
2. Hadits muttafaq alaih (Bukhari Muslim) dan
Ahmad
Artinya: Apabila seorang hakim membuat keputusan
apabila dia berijtihad dan benar maka dia mendapat dua pahala apabila salah
maka ia mendapat satu pahala.
3. Hadits riwayat Ahmad, Abu Daud dan
Tirmidzi tentang dialog antara nabi
Muhammad SAW dengan Muadz bin Jabbal ketika akan diutus jad gubernut di Yaman
Ijtihad dilakukan jika suatu
persoalan hukumnya tidak ditemukan dalam al-Qur’an dan hadis.
Namun demikian, hukum yang dihasilkan dari ijtihad tidak boleh bertentangan dengan
al-Qur’an maupun hadis. Hal ini sesuai dengan sabda Rasulullah saw.:
Artinya: “Dari Mu’az, bahwasanya Nabi Muhammad saw. ketika mengutusnya ke Yaman, ia bersabda, “Bagaimana engkau akan memutuskan suatu perkara yang dibawa orang kepadamu?” Muaz berkata, “Saya akan memutuskan menurut Kitabullah (al-Qur’an).” Lalu Nabi berkata, “Dan jika di dalam Kitabullah engkau tidak menemukan sesuatu mengenai soal itu?” Muaz menjawab, “Jika begitu saya akan memutuskan menurut Sunnah Rasulullah saw.” Kemudian, Nabi bertanya lagi, “Dan jika engkau tidak menemukan sesuatu hal itu di dalam sunnah?” Muaz menjawab, “Saya akan mempergunakan pertimbangan akal pikiran sendiri (ijtihadu bi ra’yi) tanpa bimbang sedikitpun.” Kemudian, Nabi bersabda, “Maha suci Allah Swt. yang memberikan bimbingan kepada utusan Rasul-Nya dengan suatu sikap yang disetujui Rasul-Nya.” (H.R. Darami)
Artinya: “Dari Mu’az, bahwasanya Nabi Muhammad saw. ketika mengutusnya ke Yaman, ia bersabda, “Bagaimana engkau akan memutuskan suatu perkara yang dibawa orang kepadamu?” Muaz berkata, “Saya akan memutuskan menurut Kitabullah (al-Qur’an).” Lalu Nabi berkata, “Dan jika di dalam Kitabullah engkau tidak menemukan sesuatu mengenai soal itu?” Muaz menjawab, “Jika begitu saya akan memutuskan menurut Sunnah Rasulullah saw.” Kemudian, Nabi bertanya lagi, “Dan jika engkau tidak menemukan sesuatu hal itu di dalam sunnah?” Muaz menjawab, “Saya akan mempergunakan pertimbangan akal pikiran sendiri (ijtihadu bi ra’yi) tanpa bimbang sedikitpun.” Kemudian, Nabi bersabda, “Maha suci Allah Swt. yang memberikan bimbingan kepada utusan Rasul-Nya dengan suatu sikap yang disetujui Rasul-Nya.” (H.R. Darami)
Rasulullah saw. Juga
mengatakan bahwa seorang yang berijtihad “sesuai dengan kemampuan dan ilmunya”,
kemudian ijtihadnya benar, maka ia akan mendapatkan dua pahala, dan jika
kemudian ijtihadnya itu salah maka ia akan mendapatkan satu pahala.
Hal tersebut ditegaskan melalui sebuah hadis
yang artinya: “Dari Amr bin Ash, sesungguhnya Rasulullah saw. Bersabda,
“Apabila seorang hakim berijtihad dalam memutuskan suatu persoalan, ternyata
ijtihadnya benar, maka ia mendapatkan dua pahala, dan apabila dia berijtihad,
kemudian ijtihadnya salah, maka ia mendapat satu pahala.” (H.R. Bukhari dan
Muslim)
Hukum ijtihad adalah wajib
bagi yang mampu dan memenuhi syarat untuk melakukannya. Para ulama sepakat
bahwa ijtihad boleh dilakukan oleh ahlinya yang memenuhi persyaratan keilmuan
seorang mujtahid. Beberapa persyaratan keilmuan seorang mujtahid yang tersebut
dalam kitab-kitab ushul adalah sebagai berikut:
1. Islam, berakal sehat, dewasa (baligh).
2. Menguasai nash (teks) Al-Quran yang berkaitan
dengan hukum yang sering disebut ayat ahkam. Jumlahnya sekitar 500 ayat.
3. Mengetahui hadits-hadits yang terkait dengan
hukum
4. Mengetahui masalah hukum yang sudah menjadi
ijmak (kesepakatan) ulama dan yang masih terjadi khilaf/ikhtilaf (perbedaan) di
antara fuqoha (ulama fiqih). Tujuannya agar tidak mengeluarkan fatwa yang
bertentangan dengan ijmak atau mengaku ijmak pada hukum yang bukan ijmak atau
mengeluarkan pendapat baru yang belum terjadi.
5. Mengetahui qiyas karena qiyah adalah rujukan
ijtihad dan awal dari pendapat. Dari
qiyas muncul produk hukum. Orang yang tidak mengetahui qiyas tidak memungkinkan
melakukan pengambilan hukum (instinbt al-hukmi).
6. Harus menguasai bahasa Arab dan konteks
pembicaraannya sehingga dapat membedakan antara hukum-hukum yang pemahamannya
harus merujuk pada bahasa, seperti kalam sharih (teks eksplisit) dan teks
faktual (dzahirul kalam), ringkasan (mujmal) dan detail, umum dan khusus,
pengertian hakikat dan majaz (kiasan).
7. Mengetahui nasikh dan mansukh baik yang
terdapat dalam Quran maupun hadits sehingg tidak membuat produk hukum berdasar
pada nash (teks) yang sudah dimansukh.
8. Mengetahui keadaan perawi hadits dalam segi
kekuatan dan kelemahannya. Membedakan hadits sahih dari yang dhaif atau
maudhu’, yang maqbul (diterima) dari yang mardud (tertolak).
9. Memiliki kecerdasan dan kemampuan dalam bidang
pengembilan hukum yang dihasilkan dari pembelajaran dan pendalaman dalam
masalah dan studi hukum syariah.
10. Adil. Dalam arti bukan fasiq. Fasiq adalah
orang yang pernah melakukan dosa besar atau terus-menerus melakukan dosa kecil.
11. Bidang yang dapat diijtihadi adalah hukum
syariah praktis yang tidak terdapat hukum yang pasti dalam Quran dan hadits.
Sedangkan masalah yang pasti tidak berada dalam domain ijtihad seperti wajibnya
shalat dan jumlah rakaatnya. Dan perkara yang diharamkan yang sudah tetap
berdasarkan dalil yang pasti seperti haramnya riba dan membunuh tanpa hak.
BAB
III
PENUTUP
3.1 Kesimpulan
Dari pembahasan diatas
dapat disimpulkan bahwa sunnah berarti jalan yang bisa dilalui atau cara yang
senantiasa dilakukan, apakah cara itu sesuatu yang baik atau buruk (Nasrun
Harun, 1997:38). Pegertian bahasa ini ditemukan dalam sabdah Rasulullah saw.
Yang terjemahanya berikut ini : barang siapa yang membiasaka sesuatu yang baik di
dalam islam, maka ia menerima pahalanya dan pahala orang-orang sesudahnya yang
mengamalkanya.
Hadis menurut bahasa
khabar atau berita. Yang dimaksud disini adalah khabar atau berita sunah
tersebut. Sunah itu meliputu ucapan, perbuatan dan sikap diamnya nabi saw.
Ijtihad berasal dari
bahasa Arab yaitu dari kata jabada yang artinya bersunguh-sunguh. Sedangkan
pegertian ijtihad menurut istilah ialah mengunakan seluruh kemampuan berpikir
dengan sunguh-sunguh untuk mengeluarkan atau untuk menetapkan hukum syara’,
dengan jalan mengistimbatkannya dari al-Quran dan sunah Rasul SAW.
3.2 Saran
Diharapkan
dari pembahasan diatas dapat menambah pengetahuan yang lebih mendalam untuk
pembaca makalah tentang sunnah dan ijtihad.
DAFTAR PUSTAKA
Anwar
Fuandi, dkk. 2008. Pendidikan Agama di
Perguruan Tinggi Umum. Padang: UNP Press Padang
H.S
Nasrul, dkk. 2011. Pendidikan Agama Islam
Bernuansa Soft Skill untuk Perguruan Tinggi. Padang: UNP Press
Biek, Syaikh Muhammad Al-Khudhari.2007.Ushul
Fikih.Jakarta:Pustaka Imani
0 komentar nya:
Post a Comment