Makalah Tentang Sunna dan Ijtihad

Posted By Muhammad Aziz on Saturday, October 29, 2016 | 1:57 PM

BAB I
                                                 PENDAHULUAN                   
1.1. Latar Belakang
Sunah atau hadis merupakan sumber ajaran islam yang kedua sesudah Al-Qur’an. Pada topik ini akan dijelaskan pegertiab sunah/hadis, macam-macamnya, fungsi dan perananya, para penelitinya dan perbedaanya dengan Al-Quran. Setelah mempelajari topik ini anda diharapkan memiliki pengetahuan, wawasan, pemahaman, dan pada akhirnya termotivasi untuk mengamal kanya dalam kehidupan sehari-hari.
Karena Rasulillah SAW itu adalah suri teladan bagi umatnya dalam menjalani kehidupan yang baik dan benar sesuai dengan tuntunan Allah SWT dan Rasulnya. Sebagaimana firman allah SWT dalam surat al-Ahzab ayat 21 yang terjemahanya sebagai berikut.
“sesunguhnya telah ada pada (diri) Rasullulah itu suri teladan yang baik bagimu (yaitu) bagi orang yang mengaharap (rahmat) Allah dan (kedatangan) hari Akhir dan orang yang bayak menyebut Allah.

1.2. Rumusan masalah
1. Pegertian sunah dan tingkatanya
2. kedudukan sunah dalam islam
3. pegertian dan ketentuan ijtihad
4. kedudukan ijtihat dalam islam

1.3.Tujuan
1.      Mahasiswa mampu memahami pegertian sunah dan tingkatanya.
2.      Mahasiswa mampu mengetahui kedudukan sunah dalam islam.
3.      Mahasiswa mampu memahami pegertian dan ketentuan ijtihad.
4.      Masiswa mampu memahami kedudukan ijtihad dalam islam.





BAB II
PEMBAHASAN

2.1. Pengertian sunah dan tingkatanya
            A. pegertian sunah atau hadis.
Sunah dan hadis merupakan dua istilah yang berbeda dari segi bahasa tetapi memiliki subtansi yang sama. Dari segi bahasa, sunnah berarti jalan yang bisa dilalui atau cara yang senantiasa dilakukan, apakah cara itu sesuatu yang baik atau buruk (Nasrun Harun, 1997:38). Pegertian bahasa ini ditemukan dalam sabdah Rasulullah saw. Yang terjemahanya berikut ini : barang siapa yang membiasaka sesuatu yang baik di dalam islam, maka ia menerima pahalanya dan pahala orang-orang sesudahnya yang mengamalkanya.(H.R.Muslim).
            Sedangkan hadis menurut bahasa khabar atau berita. Yang dimaksud disini adalah khabar atau berita sunah tersebut. Sunah itu meliputu ucapan, perbuatan dan sikap diamnya nabi saw. Karena hadis merupakan pemberitaan maka ia terkaitdangan si pembawa berita baik segi kemampuan daya ingat, sifat atau prilakunya, maupun preses atau penyampaiyan berita (transmisi) hadis itu sendiri. Atas dasar itulah muncul penelitian-penelitian tentang keshahihan sebuah hadis oleh para ulama hadis sesuai dengan metode yang sudah dibangun oleh para ulama terdahulu seperti Imam Bukhari, dan Muslim. Ilmu tentang itu disebut ilmu mustahalah albadits. Penjelasan lebih lanjut dapat dilihat dalam pembahasan tentang kualitas hadis.
            Sunah menurut istilah dapat dilihat dari tiga disiplin ilmu, yaitu ilmu hadis, ilmu fiqih dan ilmu ushul fiqh. Sunah menurut para ahli hadis adalah seluruh yang disandarkan kepada nabi Muhamd saw, baik berupa perkataan, perbuatan maupun maupun ketetapan atau sifat sebagai manusia biasa, ahlaknya baik sebalum maupun sesudah beliau diangkat manjadi Rasul.
            Sunah menurut ahli ushul fiqh adalah segala yang diriwayatkan dari nabi Muhamad saw. Berupa perbuatan, perkataan dan ketetapan yang berkaitan dengan hukum. Sedangkan sunah menurut para ahli fiqh, disamping pegrtian yang dikemukakan oleh para ulama ushul fiqh di atas, juga dimaksudkan sebagai salah satu hukum taklif yang mengandung pegertian perbuatan yang apabila dikrjalan dapat pahala dan apabila ditinggalkan tidak berdosa. Sebagaimana yang dipahami oleh kalangan awam.
            Terjadinya perbedaan pegertian sunah dikalangan ahli ushul fiqih dangan ahli fiqh disebabkan perbedaan sudut pandang masing-masing terhadap sunah. Ulama ushul fiqh memandang bahwa sunnah tersebut merupakan salah satu sumber atau dalil hukum. Sedangkan ulam fiqh menempatkan sunah sebagai salah satu hukum taklifi(Nasrun Harun, 1997:38-39)
            Sunguhpun demikian, baik ulama ushul fiqh, ulama fiqih maupun ulama hadis haya merujuk kepada dan berlaku untuk Nabi-lah orang yang terpilihara dari kesalahan, beliau sendirilah sumber teladan, sehingga apa yang disunahkanya mengikat seluruh umat Islam (Amir syarifudin, 1997:75 jilid 1).

            B. macam-macam sunah/hadis
Sunah dapat dilihat dari tiga sigi, yaitu dari segi bentuknya, jumlah orang yang meriwayatkannya dan kualitasnya.
1.      Dari segi bentuknya
Pertama, sunah qauliyah yaitu ucapan nabi muhamad SAW yang didengaroleh para sahabat beliau dan disampaikannya kepada orang lain. Umpamanya, sahabat menyampaikan bahwa ia mendegar Nabi Muhamad SAW bersabda, “siapa yang tidak melaksanakan shalat karna tertiduran atau karena ia lupa, hendaklah ia segara mengejarkan shalat itu ketika tekah ingat”.
Kedua, sunnah Fi’liyah, yaitu perbuatan yang dilakukan oleh Nabi Muhamad SAW yang dilihat atau diketahui oleh para sahabat, kemudian disampaikan dengan orang lain melalui ucapannya. Umpamanya,sahabat berkata, “saya melihat Nabi Muhamad SAW shalat sunat dua rekaat setelah shalat zhurur”.
Ketiga. Sunnah taqririyah. Yaitu perbuatan seorang sahabat atau ucapannya dihadapan Nabi atau sepengetahuan Nabi yangtidak ditangapi atau dicegah oleh Nabi. Diamnya nabi disampaikan sahabat kepada orang lain dngan ucapan.

Sebagai Contoh : pernah suatu kali seorang sahabat memakan memakan daging Dhab (binatang padang pasir sejenis kadal) di depan Nabi SAW, beliau mengetahui apa yang diamakan oleh sahabat tersebut tetapi beliau tidak melarang atau merasa keberatan atas perbuataan itu. Kisah tersebut disampaikan oleh sahabat yang mengetahuinya dengan ucapan sendiri contoh : “saya melihat seoarang sahabat memakan daging Dgab (binatang padang pasirsejenis kadal) didekat Nabi Saw, Nabi SAW mengetahui tetapi nabi SAW tidak melarang perbuatan itu. ( Amir Syarifuddin, 1997; 76).
2.      Dari segi kualitasnya
a.       Hadis shahih
Hadis shahih ialah hadis yang bersambung sanadnya, yang diriwayatkan oleh rawi yang adil dan dhabith dari rawi yang lain (juga) adil dan dhabith sampai akhir sanad, dan hadis itu tidak janggal serta tidak mengandung cacat ( illat).
Syarat-syarat hadis shahih yang makbul ada enam: (1) rawinya ‘adil, (2) rawinya dhabith, (3) sanadnya bersambung, (4) mantanya tidak mengandung kerancuan (gharib) dari segi bahasa, (5) tidak terdapat kecacatan yang dapatmerusak hadis tersebut, seperti isinya yang bertentangan dengan fakta sejarah.
Contoh hadis shahi adalah hadis yang diriwayatkan oleh Bukhari dan Mukmin , sebagi berikut :
Riwayatkan kepada kaami Quthaibah bin sa’id, ia berkata: “meriwayatkan kepada kami jaril bin al-Qa’qa dari abu zurr’ah dari Abu Hurairah, ia berkata : “ya Rasulullah siapakah yang paling berhak mendapatkan perlakuan yang baik ? Rasulullah menjawab:’ibumu; orang itu bertanya laagi ;’kemudian siapa ?Rasulullah menjawab: ‘Ibumu ; orang itu bertanya lagi: kemudian siapa ?’ Rasulullah menjawab: ‘kemudian Bapakmu.”
b.      Hadis hasan
Adalah hadis yang bersambung sanadnya, diriwayatkan oleh rawi yang adil, yang rendah tingkatkekuatan daya hafalnya, bahasanya tidak rancu dan tidak bercacat. Contoh hadis hasan adalah hadis yang diriwayatkan Ahmad, ia berkata :
            Yahya bin sa’id meriwaytkan hadis kepada kami dari Bahzbin Hakim, ia mengatakan, “m eriwayatkan hadis kepadaku bapakku dari kakekku, katanya ; ‘Aku bertanya : “Ya Rasulullah, kepada siapa aku harus berbakti ? “rasulullah menjawab:”kepada ibumu.”Aku bertanya: lalu kepada siapa? “rasulullah menjawab: Ibumu, kemudian bapakmu, kemudian kerabat terdeekat dan selanjutnya. “Tf5
            Sanad hadis ini bersambung, tak ada kejangalan dan tidak ada cacat, baik dalam rangkaian sanad maupun mantanya tidak terdapat perbedaan diantara riwayat-riwayatnya. Akan tetapi salah seorang yang meriwayatkan hadis ini yaitu Yahya bin Said seorang yang tidak dhabid.
c.       Hadis dha’if
Hadis dha’if adalah hadis-hadis shahi yang tidak mengandung  persyaratan hadis shahih dan hasan sebagai mana disebut diatas.
Contoh hadis dhoif yang artinya :
“Barangsiapa yang berjabatan tangan dengan orang yahudi atau nasrani, maka hendaklah dia berwudu’dan mencucikan tanganya”.
3.      Dari segi jumlah orang yang meriwayatkanya
Dari segi jumalah rawi (orang yang meriwayatkanya) hadis dapat dikelompokan kedalam dua kelompok :
1). Hadis mutawir
      Adalah hadis yang disampaikan oleh banyak rawi yang tidak memungkinkan mereka sepakat untuk berdista.
      Contoh hadis mutawir adalah sebagai berikut:
Rasul SAW bersabda: “barang siapa berbuat dusta atas namaku dengan sengaja, maka hendaklah ia menepati tempat tingalnya dineraka”.
Hadis ini diriwayatkan dari Nabi Muhamad SAW dengan redaksi yang sama oleh lebih dari tujuh puluh orang sahabat.
Contoh lainnya:
Rasul SAW bersabdah: “Al-Qur’an diturunkan atas tujuh huruf”.
Hadis ini diriwayatkan oleh dua puluh orang sahabat.
2). Hadis Masyhur
Adalah hadis yang memiliki sanad terbatas yang lebih dari dua. Hadis masyhur tersebut ada yang berkualitas shahhi, hasan dan ada juga yang dha’if.
Rasulullah SAW bersabdah : “bila salah seorang di antara kamu hendak mendirikan shalat jum’at, maka hendaklah dia mandi”.
Hadis ini diriwayatkan dari nabi muhamad SAW melalui bayak sanad contoh hadis masyhur yang hasan
Rasul SAW bersabdah: “tidak boleh membiyarkan datangnya bahaya dan tidak boleh datangkan bahaya”.
Hadis ini diriwayatkan dari nabi Muhamad SAW melalui bayak sanad tetapi dinilai derajatnya hasan oleh Iman Nawawi.
Contoh hadis masyhur yang dha’if:
Rasul SAW bersabdah:”carilah ilmu walau di negeri cina”

Hadis ini diriwayatkan melalui bayak sanad dari anas dan abu Hurairah, akan tetapi seluruh sanadnya tidak bebas dari cacat. Oleh karenanya hadis tersebut jatuh kedalam kategori hadis masyhur yang da’if.
3). Hadis Ahad
      Hadis ini adalah hadis yang diterima dari Nabi Muhammad Saw secara orang perorangan sampai kepada rawinya yang terakhir (Amir Syarifudin, 1997:82).Hadis ahad ini diterima dan disampaikan secara berantai dari satu orang ke satu yang lainnya, begitu seterusnya.
C.  Fungsi dan Peranan Sunah
      Amir  Syarifudin (1997:85-88) mengemukakan fungsi sunnah terhadap Al-Qur’an sebagai berikut.
a.       Fungsi  Taqrir, yaitu memperkokoh hukum yang sudah ditetapkan Al-Qur’an. Misalnya firman Allah Swt dalam Q.S 2:183b
Risi perintah tentang kewajiban berpuasa bagi umat Islam. Kemudian datang sunah memperkokohnya seperti sabda Rasulullah Saw yang terjemahannya sebagai berikut.
      Islam didirikan atas lima perkara,persaksian bahwa tiadaTuhan selain Allah, dan Muhammad itu utusan Allah, mendirikan shalat, membayar zakat, puasa pada bulan Ramadhan dan naik haji ke baitullah (H.R. Bukhari)
b.      Fungsi Tafsir / Tafshil, yaitu menafsirkan atau merinci ayat-ayat Al-Qur’an yang mengandung pengertiansecara global
c.        Fungsi Taqyid, yaitu memberikan batasan terhadap ayat-ayat Al-Qur’an yang mengandung pengertian secara mutlak
d.      Fungsi Ististna,  yaitu memberikan pengecualian terhadap pernyataan Al-Qur’an yang bersifat umum.
e.       Fungsi Munsyi’ al-hukmu,  yaitu membentuk atau menambahkan hukum yang tidak ditetapkan didalam Al-Qur’an.

Tingkatan-tingkatan dalam Sunnah
Para ulama membagi sunnah menjadi 3 macam:
1.      Sunnah Huda yaitu: pelaksanaannya dimaksudkan sebagai penyempurna atau pelengkap kewajiban agama, seperti adzan dan sholat berjama’ah. Orang yang sengaja meninggalkannya dianggap sesat dan berdosa, sehingga apabila penduduk suatu daerah sepakat untuk meninggalkannya, maka mereka boleh diperangi. 
2.      Sunnah Zaidah (sunnah tambahan), yaitu hal-hal yang dikerjakan nabi saw., berupa hal-hal biasa yang bersifat akhlak; seperti etika makan, minum, tidur dan memakai pakaian. Apabila mukallaf melakukannya adalah lebih baik, sedang bila ia meninggalkannya, maka hal itu tidak berpengaruh apa-apa yaitu tidak berkaitan dengan makruh dan keburukan.
3.      Nafal, yaitu yang ditetapkan sebagai tambahan atas fardlu, wajib dan sunnah, seperti shalat tathawwu’ (sunnah yang dilakukan secara individu). Contohnya seorang melakukan sholat sunnah empat rakaat sebelum dzuhur. Seseorang yang melakukannya akan mendapatkan pahala dan tak ada hukuman dan teguran bagi yang meninggalkannya.


2.2. Kedudukan sunah dalam Islam.

2 Kedudukan Sunnah dalam Islam
Sunnah adalah syarah bagi al-Qur`an. Tugas Rasulullah SAW adalah:
1.)    Menyampaikan wahyu al-Qur`an:
2.)    Menjelaskan dan menerangkan wahyu al-Qur`an:
Nabi SAW menjelaskan al-Qur`an itu dengan tiga cara:
a.)    dengan ucapan
b.)    dengan perbuatan
c.)    dengan ketetapannya
oleh karena itu Allah SWT berfirman:

Karena itu al-Qur`an lebih membutuhkan kepada al-Sunnah daripada al-Sunnah kepada al-Qur`an, al-Sunnah itu sama kedudukannya dengan al-Qur`andalam hal menghalalkan dan mengharamkan. Rasulullah SAW bersabda:
( أَلاَ وَإِنِّيْ أُوْتِيْتُ الْقُرْآنَ وَمِثْلَهُ مَعَهُ )
“Ingatlah aku ini diberi al-Qur`an dan yang semisalnya bersamanya.” (HR. Ahmad, hakim, Abu
Seluruh umat Islam telah sepakat bahwa hadits Rasul merupakan sumber dan dasar hukum Islam setelah al qurán, dan umat Islam diwajibkan mengikuti hadits  sebagaimana di wajibkan mengikuti alqur’an.
Alqur’an dan hadits merupakan dua sumber hukum syari’at Islam yang tetap, yang orang Islam tidak mungkin memahami syari’at Islam secara mendalam  dan lengkap dengan tanpa kembali dengan kedua sumber Islam tersebut.
Seorang mujtahid dan seorang alim pun tidak diperbolehkan hanya mencukupkan diri dengan salah satu dari keduanya. Banyak ayat alqur’an dan hadits yang memberikan pengertian bahwa hadits itu merupakan sumber hukum Islam selain alqur,an dan wajib di ikuti, baik dalam bentuk perintah maupun larangannya
Dalam al qurán banyak terdapat ayat yang menegaskan tentang kewajiban mengikuti Allah yang digandengkan dengan ketaatan mengikuti Rasul-Nya seperti firman Allah Q.S. ali imran ayat 32
قُلْ أَطِيْعُوااللهَ وَالرَّسُولَ فاِن تَوَلَّوْا فَاِنَّ اللهَ لاَ يُحِبُّ الْكَفِرِينَ                        
Katakanlah, “Taatilah Allah dan Rasulnya; jika kamu berpaling, sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang kafir” (Q.S ali imran 32)
Di samping itu banyak juga ayat-ayat yang mewajibkan ketaatan kepada Rasul  secara khusus  dan terpisah karena  pada dasarnya ketaatan kepada Rasul berarti ketaatan kepada Allah SWT yaitu: Q.S An-Nisa ayat 65 dan 80,Q.S ali imran ayat 31, Q.S An-Nur ayat 56, 62 dan 63, Q.S Al-A’raf ayat 158. Dengan demikian dapat ditetapkan, bahwa apa yang benar yang datang dari Rasululloh  menjadi hujjah yang awajib di ikuti, jika Rasululloh wajib di ikuti dalam kapasitasnya sebagai seorang rasul, maka wajib pula mengikuti semua hukum hukum yang benar darinya.



2.3. Pengertian dan Ketentuan Ijtihad
            Ijtihad berasal dari bahasa Arab yaitu dari kata jabada yang artinya bersunguh-sunguh. Sedangkan pegertian ijtihad menurut istilah ialah mengunakan seluruh kemampuan berpikir dengan sunguh-sunguh untuk mengeluarkan atau untuk menetapkan hukum syara’, dengan jalan mengistimbatkannya dari al-Quran dan sunah Rasul SAW. Orang yang mengunakan ijtihad dinamakan mujtahid, yaitu para ahli fiqh atau ahli hukum dan ahli dalam bidang ilmu pengetahuan tertentu yangselalu berusaha dengan sunguh-sunguh dalam menetapkan hukum agama.
            Al-Quran menyebutkan hukum agama secara global saja, oleh karnaitu perlu dijelaskan dengan rinci melalui hadis dan sunah Rasul SAW. Namun masih bayak lagi persoalan yang belum sempat dijelaskan oleh Rasul sedangkan dan beliau sudah wafat. Kebudayan manusia dari waktu-kewaktu selalu berkembang sesuai dengan perkem bangan fikiran manusia. Untuk itu diperlukan hukum untuk mengatur manusia agar tidak keluar dari syariat islam. Hal inilah yang memberi peluang agar pinti ijtihad selalu dibuka sepanjang masa (Amir, 1989: 221).
            Beberapa metode ijtihad itu dapat dilakukan, antara lain :
a.       Ijma’
Ijma’ menurut istilah ulama ushul (ushuliyyin) ialah kesepakatan semua imam mujtahid diantara umat Islam pada suatu masa setelah wafatnya Rasul, atas hukum syar’i mengenai suatu kejadian atau kasus. Apabila ada suatu masalah atau suatu kejadian yang hendak ditetapkan hukumnya pada suatu masa sesudah Rasulul yang dihadapkan pada mujtahid, kemudian para mujtahid itu menetapkan hukum masalah atau kejadian tersebut, maka kesepakatan mereka itu disebut ijma’. Ijma’ itu dijadikan sebagai dasarhukum setelah Nabi wafat, karna pada masa nabi masih hidup, beliau merupakan sumber agama untuk rujukan syariat islam, sehingga tidak terdapat perselisihan dalam menetapkan hukum Islam.
      Ijma’ ditinjau dari segi cara mengahsilkannya ada dua macam, yaitu ijam’qauli dan ijma’ sukuti. Ijma’ qauly adalah kesepakatan para mujtahid pada suatu masa atau hukum suatu peristiwa, setelah para mujtahid itu menampilkan pendapatnya masing-masing, kemudian terdapat keputusan yang disepakati oleh semua mujtahid tersebut. Adapun ijma’ sukuti adalah sebagian para mujtahid berfatwa atau menampilkan pendapatnya mengenai hukum suatu peristiwa, sedangkan para mujtahid yang lainnya diam tanpa memberikan tanggapan terhadap masalah tersebut.
      Contoh ijma’ di masa sahabat seperti adanya kesepakatan antara para sahabat untuk membukukan Al-Qur’an dengan sistem penulisan Al-Qur’an menurut urutan seperti mushaf Al-Qur’an yang ada sekarang. Sistem penulisan Al-Qur’an dengan urutan surat seperti yang ada sekarang adalah ijma’ sahabat padamasa khalifah Usman bin Affan , sedangkan pada masa Nabi Muhammad Saw Al-Qur’an ditulis sesuai dengan urutan turunnya ayat-ayat Al-Qur’an.

b.      Qiyas
Qiyas menurut ulama  ushul fiqh adalah menghubungkan suatu kejadian yang tidak ada nash nya (teks dalil) kepada suatu kejadian lain yang ada nashnya. Selanjutnya dihubungkan kesamaan illat hukum keduannya dan diputuskan hukumnya yang sama.  Apabila ada satu kejadian atau masalah yang sudah ditetapkan hukumnya berdasarkan nash (Al-Qur’an dan sunnah) kemudian ada suatu masalah atau kejadian lain yang ditetapkan hukumnya, namun tidak ada nash nya secara pasti ada kesamaaanya illatnya, maka masalah atau kejadian yang belum ditetapkan hukumnya berdasarkan nash yang ada, karena ada kesamaan illatnya.
c.       Maslahah Mursalah
Maslahah mursalah adalah cara untuk menetapkan hukum suatu masalah atau kejadian yang tidak terdapat ketentuannya, baik di dalam Al-Qur’an maupun dalam sunnah, tetapi penetapan hukum ini berdasarkan pertimbangan kemaslahatan masyarakat dan kepentingan umum. Menurut ulama ushul dalam maslahah mursalah, tidak ada penjelasan mengenai mensyariatkan hukum untuk mewujudkan maslahah itu, juga tidak terdapat dalil yang menunjukkan atas pengakuannya atau pembatalannya. Maslahah itu bersifat mutlak karena tidak dibatasi dengan dalil pengakuan atau dalil pembatalan.
d.      Istihsan
Istihsan adalah menetapkan suatu hukum terhadap suatu persoalan atas dasar prinsip-prinsip kebaikan. Keadilan , kasih sayang dan sebagainya dari Al-Qur’an dan hadits.
e.       Urf
Maksud Urf adalah kebiasan mayoritas masyarakat yang dianngap baik, dalam bentuk perkataan maupun perbuatan. Urf terdiri dari 2 macam yaitu : Urf shahih maksudnya kebaikan berulang-ulang dilakukan dan diterima oleh orang banyak, dan tidak bertentangan dengan agama, sopan santun dan budaya luhur. Urf fasid  maksudnya kebiasaan yang berlaku di suatu tempat meskipun merata pelaksanaanya namun bertentangan dengan agama, undang-undang negara dan sopan santun.
f.       Sadd al-zari’ah
Maksud sadd al-zari’ah adalah menutup berbagai peluang atau sarana dapat mengakibatkan terjatuh kepada sesuatu yang dilarang agama.
           


Ketentuan ijtihad
Berbeda dengan al-Qur'an dan as-Sunnah, ijtihad terikat dengan ketentuan-ketentuan sebagai berikut :
a.       Pada dasarnya yang ditetapkan oleh ijtihad tidak dapat melahirkan keputusan yang mutlak absolut. Sebab ijtihad merupakan aktifitas akal pikiran manusia yang relatif. Sebagai produk pikiran manusia yang relatif maka keputusan daripada suatu ijtihad pun adalah relatif.
b.      Sesuatu keputusan yang ditetapkan oleh ijtihad, mungkin berlaku bagi seseorang tapi tidak berlaku bagi orang lain. Berlaku untuk satu masa / tempat tapi tidak berlaku pada masa / tempat yang lain.
c.        Ijtihad tidak berlaku dalam urusan penambahan ibadah mahdhah. Sebab urusan ibadah mahdhah hanya diatur oleh Allah dan Rasulullah.
d.      Keputusan ijtihad tidak boleh bertentangan dengan al-Qur'an dan as-Sunnah.
e.       Dalam proses berijtihad hendaknya dipertimbangkan faktor-faktor motifasi, akibat, kemaslahatan umum, kemanfaatan bersama dan nilai-nilai yang menjadi ciri dan jiwa daripada ajaran Islam.


 2.4 Kedudukan Ijtihad dalam Islam
Ijtihad menempati kedudukan sebagai sumber hukum Islam setelah Al-Qur’an dan   Hadits. Dalilnya adalah
1.      QS An-Nahl 16:43 dan Al-Anbiya' 21:7
Artinya: :  maka bertanyalah kepada orang yang mempunyai pengetahuan  jika kamu  tidak mengetahui
2.      Hadits muttafaq alaih (Bukhari Muslim) dan Ahmad
Artinya:  Apabila seorang hakim membuat keputusan apabila dia berijtihad dan benar maka dia mendapat dua pahala apabila salah maka ia mendapat satu pahala.
3.      Hadits riwayat Ahmad, Abu Daud dan Tirmidzi  tentang dialog antara nabi Muhammad SAW dengan Muadz bin Jabbal ketika akan diutus jad gubernut di Yaman

Ijtihad dilakukan jika suatu persoalan  hukumnya tidak ditemukan dalam al-Qur’an dan hadis. Namun demikian, hukum yang dihasilkan dari ijtihad tidak boleh bertentangan dengan al-Qur’an maupun hadis. Hal ini sesuai dengan sabda Rasulullah saw.:
Artinya: “Dari Mu’az, bahwasanya Nabi Muhammad saw. ketika mengutusnya ke Yaman, ia bersabda, “Bagaimana engkau akan memutuskan suatu perkara yang dibawa orang kepadamu?” Muaz berkata, “Saya akan memutuskan menurut Kitabullah (al-Qur’an).” Lalu Nabi berkata, “Dan jika di dalam Kitabullah engkau tidak menemukan sesuatu mengenai soal itu?” Muaz menjawab, “Jika begitu saya akan memutuskan menurut Sunnah Rasulullah saw.” Kemudian, Nabi bertanya lagi, “Dan jika engkau tidak menemukan sesuatu hal itu di dalam sunnah?” Muaz menjawab, “Saya akan mempergunakan pertimbangan akal pikiran sendiri (ijtihadu bi ra’yi) tanpa bimbang sedikitpun.” Kemudian, Nabi bersabda, “Maha suci Allah Swt. yang memberikan bimbingan kepada utusan Rasul-Nya dengan suatu sikap yang disetujui Rasul-Nya.” (H.R. Darami)
Rasulullah saw. Juga mengatakan bahwa seorang yang berijtihad “sesuai dengan kemampuan dan ilmunya”, kemudian ijtihadnya benar, maka ia akan mendapatkan dua pahala, dan jika kemudian ijtihadnya itu salah maka ia akan mendapatkan satu pahala.
Hal tersebut ditegaskan melalui sebuah hadis yang artinya: “Dari Amr bin Ash, sesungguhnya Rasulullah saw. Bersabda, “Apabila seorang hakim berijtihad dalam memutuskan suatu persoalan, ternyata ijtihadnya benar, maka ia mendapatkan dua pahala, dan apabila dia berijtihad, kemudian ijtihadnya salah, maka ia mendapat satu pahala.” (H.R. Bukhari dan Muslim)
Hukum ijtihad adalah wajib bagi yang mampu dan memenuhi syarat untuk melakukannya. Para ulama sepakat bahwa ijtihad boleh dilakukan oleh ahlinya yang memenuhi persyaratan keilmuan seorang mujtahid. Beberapa persyaratan keilmuan seorang mujtahid yang tersebut dalam kitab-kitab ushul adalah sebagai berikut:
1.      Islam, berakal sehat, dewasa (baligh).
2.      Menguasai nash (teks) Al-Quran yang berkaitan dengan hukum yang sering disebut ayat ahkam. Jumlahnya sekitar 500 ayat.
3.      Mengetahui hadits-hadits yang terkait dengan hukum
4.      Mengetahui masalah hukum yang sudah menjadi ijmak (kesepakatan) ulama dan yang masih terjadi khilaf/ikhtilaf (perbedaan) di antara fuqoha (ulama fiqih). Tujuannya agar tidak mengeluarkan fatwa yang bertentangan dengan ijmak atau mengaku ijmak pada hukum yang bukan ijmak atau mengeluarkan pendapat baru yang belum terjadi.
5.       Mengetahui qiyas karena qiyah adalah rujukan ijtihad dan awal dari pendapat.     Dari qiyas muncul produk hukum. Orang yang tidak mengetahui qiyas tidak memungkinkan melakukan pengambilan hukum (instinbt al-hukmi).
6.      Harus menguasai bahasa Arab dan konteks pembicaraannya sehingga dapat membedakan antara hukum-hukum yang pemahamannya harus merujuk pada bahasa, seperti kalam sharih (teks eksplisit) dan teks faktual (dzahirul kalam), ringkasan (mujmal) dan detail, umum dan khusus, pengertian hakikat dan majaz (kiasan).
7.      Mengetahui nasikh dan mansukh baik yang terdapat dalam Quran maupun hadits sehingg tidak membuat produk hukum berdasar pada nash (teks) yang sudah dimansukh.
8.      Mengetahui keadaan perawi hadits dalam segi kekuatan dan kelemahannya. Membedakan hadits sahih dari yang dhaif atau maudhu’, yang maqbul (diterima) dari yang mardud (tertolak).
9.      Memiliki kecerdasan dan kemampuan dalam bidang pengembilan hukum yang dihasilkan dari pembelajaran dan pendalaman dalam masalah dan studi hukum syariah.
10.  Adil. Dalam arti bukan fasiq. Fasiq adalah orang yang pernah melakukan dosa besar atau terus-menerus melakukan dosa kecil.
11.  Bidang yang dapat diijtihadi adalah hukum syariah praktis yang tidak terdapat hukum yang pasti dalam Quran dan hadits. Sedangkan masalah yang pasti tidak berada dalam domain ijtihad seperti wajibnya shalat dan jumlah rakaatnya. Dan perkara yang diharamkan yang sudah tetap berdasarkan dalil yang pasti seperti haramnya riba dan membunuh tanpa hak.





BAB III
PENUTUP

3.1  Kesimpulan
Dari pembahasan diatas dapat disimpulkan bahwa sunnah berarti jalan yang bisa dilalui atau cara yang senantiasa dilakukan, apakah cara itu sesuatu yang baik atau buruk (Nasrun Harun, 1997:38). Pegertian bahasa ini ditemukan dalam sabdah Rasulullah saw. Yang terjemahanya berikut ini : barang siapa yang membiasaka sesuatu yang baik di dalam islam, maka ia menerima pahalanya dan pahala orang-orang sesudahnya yang mengamalkanya.
Hadis menurut bahasa khabar atau berita. Yang dimaksud disini adalah khabar atau berita sunah tersebut. Sunah itu meliputu ucapan, perbuatan dan sikap diamnya nabi saw.
Ijtihad berasal dari bahasa Arab yaitu dari kata jabada yang artinya bersunguh-sunguh. Sedangkan pegertian ijtihad menurut istilah ialah mengunakan seluruh kemampuan berpikir dengan sunguh-sunguh untuk mengeluarkan atau untuk menetapkan hukum syara’, dengan jalan mengistimbatkannya dari al-Quran dan sunah Rasul SAW.


3.2  Saran
Diharapkan dari pembahasan diatas dapat menambah pengetahuan yang lebih mendalam untuk pembaca makalah tentang sunnah dan ijtihad.









DAFTAR PUSTAKA

Anwar Fuandi, dkk. 2008. Pendidikan Agama di Perguruan Tinggi Umum. Padang: UNP Press   Padang
H.S Nasrul, dkk. 2011. Pendidikan Agama Islam Bernuansa Soft Skill untuk Perguruan Tinggi.     Padang: UNP Press
Biek, Syaikh Muhammad Al-Khudhari.2007.Ushul Fikih.Jakarta:Pustaka Imani


Blog, Updated at: 1:57 PM

0 komentar nya:

Post a Comment