BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Segala sesuatu yang Allah SWT
ciptakan bukan tanpa sebuah tujuan. Allah SWT menciptakan bumi beserta isinya,
menciptakan sebuah kehidupan di dalamnya, bukanlah tanpa tujuan yang jelas.
Sama halnya dengan Allah SWT menciptakan manusia. Manusia diciptakan oleh Allah
SWT tidak sia-sia, manusia diciptakan sebagai khalifah di bumi untuk mengatur
atau mengelola apa yang ada di bumi beserta segala sumber daya yang ada.
Di samping kita sebagai manusia
harus pandai-pandai mengelola sumber daya yang ada, sebagai seorang manusia
juga tidak boleh lupa akan kodratnya yakni menyembah sang Pencipta, Allah SWT,
oleh karena itu manusia harus mempunyai aqidah yang lurus agar tidak menyimpang
dari apa yang diperintahkan Allah SWT.
Penyempurna aqidah yang lurus kepada
Alla SWT tidak luput dari aqidah yang benar kepada Malaiakat-Malaikat Allah,
Kitab- kitab yang diturunkan oleh Allah kepada para Rosul-rosul Allah untuk
disampaikan kepada kita, para umat manusia.
1.2 Rumusan Masalah
1. Apakah pengertian dan ruang lingkup aqidah?
2. Apakah saja bukti-bukti wujud Tuhan?
3. Bagaimana implementasi tauhid dalam kehidupan?
4. Bagaimana pemurnian tauhid itu?
1.3 Tujuan Penulisan
Makalah ini ditulis dengan tujuan
agar kita lebih memahami apa itu aqidah dan ruang lingkup aqidah, bukti-bukti
wujud Tuhan, implementasi tauhid dalam kehidupan dan pemurnian tauhid.
BAB II
PEMBAHASAN
2.1
Pengertian dan Ruang Lingkup Aqidah
a. Pengertian aqidah
Pengertian Aqidah Secara Bahasa
(Etimologi) :
Kata "‘aqidah" diambil
dari kata dasar "al-‘aqdu" yaitu ar-rabth (ikatan), al-Ibraam
(pengesahan), al-ihkam (penguatan), at-tawatstsuq (menjadi kokoh, kuat),
asy-syaddu biquwwah (pengikatan dengan kuat), at-tamaasuk (pengokohan) dan
al-itsbaatu (penetapan). Di antaranya juga mempunyai arti al-yaqiin
(keyakinan) dan al-jazmu (penetapan).
Aqidah artinya ketetapan yang tidak
ada keraguan pada orang yang mengambil keputusan. Sedang pengertian aqidah
dalam agama maksudnya adalah berkaitan dengan keyakinan bukan perbuatan.
Seperti aqidah dengan adanya Allah dan diutusnya pada Rasul. Bentuk jamak dari
aqidah adalah aqa-id.
Aqidah islam itu sendiri bersumber
dari Al-Qur’an dan As Sunah, bukan dari akal atau pikiran manusia. Akal pikiran
itu hanya digunakan untuk memahami apa yang terkandung pada kedua sumber aqidah
tersebut yang mana wajib untuk diyakini dan diamalkan.
Pengertian
Aqidah Secara Istilah (Terminologi):
Aqidah
menurut istilah adalah perkara yang wajib dibenarkan oleh hati dan jiwa menjadi
tenteram karenanya, sehingga menjadi suatu kenyataan yang teguh dan kokoh, yang
tidak tercampuri oleh keraguan dan kebimbangan.
Pengertian
aqidah menurut hasan al-Banna:
"Aqa'id
bentuk jamak rai aqidah) adalah beberapa perkara yang wajib diyakini
kebenarannya oleh hati, mendatangkan ketentraman jiwa yang tidak bercampur sedikit
dengan keraguan-raguan".
Menurut Abu
Bakar Jabir al-Jazairy:
"Aqidah
adalah sejumlah kebenaran yang dapat diterima secara umum oleh manusia
berdasarkan akal, wahyu dan fitrah. Kebenaran itu dipatrikan oleh manusia di
dalam hati serta diyakini keshahihan dan keberadaannya secara pasti dan ditolak
segala sesuatu yang bertentangan dengan kebenaran itu.
Jadi Akidah
adalah ajaran Islam yang berkaitan dengan keyakinan, karenanya dalam
penggunaannya, akidah sering disebut dengan keimanan.
b.Ruang Lingkup Pembahasan Aqidah
Menurut Hasan al-Banna sistematika ruang lingkup pembahasan aqidah
adalah:
1.
Ilahiyyat,
yaitu
pembahasan tentang segala susuatu yang berhubungan dengan Allah, seperti
wujud Allah, sifat Allah, nama dan Perbuatan Allah dan sebagainya.
2.
Nubuwat,
yaitu
pembahasan tentang segala sesuatu yang berhubungan dengan Nabi dan
Rasul, pembicaraan mengenai kitab-kitab Allah yang dibawa para Rasul
,mu’jizat rasul dan lain sebagainya.
3.
Ruhaniyat,
yaitu
tentang segala sesuatu yang berhubungan dengan alam metafisik seperti jin,
iblis, syaitan , roh ,malaikat dan lain sebagainya
4.
Sam'iyyat,
yaitu
pembahasan tentang segala sesuatu yang hanya bisa diketahui lewat sam'i,
yakni dalil Naqli berupa Al-quran dan as-Sunnah seperti alam barzkah,
akhirat dan Azab Kubur, tanda-tanda kiamat, Surga-Neraka dsb.
Adapun penjelasan ruang lingkup pembahasan aqidah yang termasuk
dalam Rukun Iman, yaitu:
1.
Iman kepada Allah
Pengertian iman kepada Allah ialah:
Membenarkan dengan yakin akan adanya Allah
Membenarkan dengan yakin keesaan-Nya,
baik dalam perbuatan-Nya menciptakan alam, makhluk seluruhnya, maupun dalam
menerimah ibadah segenap makhluknya.
Membenarkan dengan yakin, bahwa
Allah bersifat dengan segala sifat sempurna, suci dari sifat kekurangan dan
suci pula dari menyerupai segala yang baru (makhluk).
Dengan demikian setelah kita mengimani Allah, maka kita membenarkan segala perbuatan dengan beribadah kepadanya, melaksanakan segala perintahnya dan menjauhi segala larangannya, mengakui bahwa Allah swt. bersifat dari segala sifat, dengan ciptaan-Nya dimuka bumi sebagai bukti keberadaan, kekuasaan, dan kesempurnaan Allah.
Dengan demikian setelah kita mengimani Allah, maka kita membenarkan segala perbuatan dengan beribadah kepadanya, melaksanakan segala perintahnya dan menjauhi segala larangannya, mengakui bahwa Allah swt. bersifat dari segala sifat, dengan ciptaan-Nya dimuka bumi sebagai bukti keberadaan, kekuasaan, dan kesempurnaan Allah.
2. Iman Kepada Malaikat
Beriman kepada malaikat ialah mempercayai bahwa Allah mempunyai makhluk yang dinamai “malaikat” yang tidak pernah durhaka kepada Allah, yang senantiasa melaksanakan tugasnya dengan sebaik-baiknya dan secermat-cermatnya. Lebih tegas, iman akan malaikat ialah beritikad adanya malaikat yang menjadi perantara antara Allah dengan rasul-rasul-Nya, yang membawa wahyu kepada rasul-rasul-Nya.
Beriman kepada malaikat ialah mempercayai bahwa Allah mempunyai makhluk yang dinamai “malaikat” yang tidak pernah durhaka kepada Allah, yang senantiasa melaksanakan tugasnya dengan sebaik-baiknya dan secermat-cermatnya. Lebih tegas, iman akan malaikat ialah beritikad adanya malaikat yang menjadi perantara antara Allah dengan rasul-rasul-Nya, yang membawa wahyu kepada rasul-rasul-Nya.
Di dalam Al-Qur’an banyak ayat yang menyeru kita mengimankan sejenis
makhluk yang gaib, yang tidak dapat dilihat oleh mata, tidak dapat dirasa oleh
panca indera, itulah makhluk yang dinamai malaikat. Malaikat selalu
memperhambakan diri kepada Allah dan patuh akan segala perintah-Nya, serta
tidak pernah berbuat maksiat dan durhaka kepada Allah swt.
3. Iman kepada kitab-kitab Allah
Keyakinan kepada kitab-kitab suci merupakan rukun iman ketiga. Kitab-kitab
suci itu memuat wahyu Allah. Beriman kepada kitab-kitab Allah ialah beritikad bahwa Allah ada menurunkan beberapa kitab kepada Rasulnya,
baik yang berhubungan itikad maupun yang berhubungan dengan muamalat dan
syasah, untuk menjadi pedoman hidup manusia. Baik untuk akhirat, maupun untuk
dunia, baik secara induvidu maupun masyarakat.
Jadi, yang dimaksud dengan mengimani kitab Allah ialah mengimani
sebagaimana yang diterangkan oleh Al-Qur’an dengan tidak menambah dan
mengurangi. Kitab-kitab yang diturunkan Allah telah turun berjumlah banyak,
sebanyak rasulnya. Akan tetapi, yang masih ada sampai sekarang nama dan
hakikatnya hanya Al-Qur’an. Sedangkan yang masih ada namanya saja ialah Taurat yang diturunkan kepada Nabi Musa,
Injil kepada Nabi Isa, dan Zabur kepada Daud.
4. Iman kepada Nabi dan Rasul
Yakin pada para Nabi dan rasul merupakan rukun iman keempat. Perbedaan antara Nabi dan Rasul terletak pada tugas utama. Para nabi menerima tuntunan berupa wahyu, akan tetapi tidak mempunyai kewajiban untuk menyampaikan wahyu itu kepada umat manusia. Rasul adalah utusan Allah yang berkewajiban menyampaikan wahyu yang diterima kepada umat manusia.
Yakin pada para Nabi dan rasul merupakan rukun iman keempat. Perbedaan antara Nabi dan Rasul terletak pada tugas utama. Para nabi menerima tuntunan berupa wahyu, akan tetapi tidak mempunyai kewajiban untuk menyampaikan wahyu itu kepada umat manusia. Rasul adalah utusan Allah yang berkewajiban menyampaikan wahyu yang diterima kepada umat manusia.
Di Al-Qur’an disebut nama 25 orang Nabi, beberapa diantaranya berfungsi
juga sebagai rasul ialah (Daud, Musa, Isa, Muhammad) yang berkewajiban
menyampaikan wahyu yang diterima kepada manusia dan menunjukkan cara
pelaksanaannya dalam kehidupan sehari-hari.
5. Iman kepada hari Akhir
Rukun iman yang kelima adalah keyakinan kepada hari akhir. Keyakinan ini sangat penting dalam rangkaian kesatuan rukun iman lainnya, sebab tanpa mempercayai hari akhirat sama halnya dengan orang yang tidak mempercayai agama Islam, itu merupakan hari yang tidak diragukan lagi.
Rukun iman yang kelima adalah keyakinan kepada hari akhir. Keyakinan ini sangat penting dalam rangkaian kesatuan rukun iman lainnya, sebab tanpa mempercayai hari akhirat sama halnya dengan orang yang tidak mempercayai agama Islam, itu merupakan hari yang tidak diragukan lagi.
Hari akhirat ialah hari pembalasan yang pada hari itu Allah menghitung
(hisab) amal perbuatan setiap orang yang sudah dibebani tanggung jawab dan memberikan putusan ganjaran sesuai dengan
hasil perbuatan selama di dunia.
6. Iman kepada qada dan qadar
Dalam menciptakan sesuatu, Allah selalu berbuat menurut Sunnahnya, yaitu hukum sebab akibat. Sunnahnya ini adalah tetap tidak berubah-ubah, kecuali dalam hal-hal khusus yang sangat jarang terjadi.Sunnah Allah ini mencakup dalam ciptaannya, baik yang jasmani maupun yang bersifat rohani.Makna qada dan qadar ialah aturan umum berlakunya hukum sebab akibat, yang ditetapkan olehnya sendiri. Definisi segala ketentuan, undang-undang, peraturan dan hukum yang ditetapkan secara pasti oleh Allah SWT, untuk segala yang ada.
Dalam menciptakan sesuatu, Allah selalu berbuat menurut Sunnahnya, yaitu hukum sebab akibat. Sunnahnya ini adalah tetap tidak berubah-ubah, kecuali dalam hal-hal khusus yang sangat jarang terjadi.Sunnah Allah ini mencakup dalam ciptaannya, baik yang jasmani maupun yang bersifat rohani.Makna qada dan qadar ialah aturan umum berlakunya hukum sebab akibat, yang ditetapkan olehnya sendiri. Definisi segala ketentuan, undang-undang, peraturan dan hukum yang ditetapkan secara pasti oleh Allah SWT, untuk segala yang ada.
2.2 Bukti-bukti wujud Tuhah
Pembahasan
ini merupakan pembahasan yang wajib diketahui oleh setiap muslim,
sebagaimanawajibnya seorang muslim untuk mengenal Tuhannya, Allah swt.
Pembahasan ini merupakan pengantar dari kajian Ilmu Tauhid (Keesaan Allah
swt.). Diharapkan dengan menguasai kajian ini seorang hamba dapat lebih
mengenal dirinya sebagai hamba dan bagaimana seharusnya bersikap sebagai hamba,
dan juga lebih mengenal Tuhannya, Allah swt., sehingga mengetahui bagaimana ia
bersikap di hadapan Tuhannya serta beribadah sesuai dengan apa yang dikehendaki-Nya
menurut apa yang disukai-Nya.
Sebagai contoh dari harapan
pembahasan ini adalah mengenal (salah satu) Sifat Allah swt. bahwa Dia adalah
Maha Besar; dan sebaliknya bahwa manusia penuh dengan kelemahan. Setelah
mengetahuinya diharapkan seorang hamba akan dapat merasakan kebesaran Allah swt
dan merasakan kelemahan dirinya sehingga tidak ada lagi padanya sifat sombong,
merasa hebat, merasa besar, merasa paling benar dan sebagainya.
a) Mengetahui
Wujud Allah (مَعْرِفَةُ
وُجُوْدِ اللهِ)
Bagaimana kita dapat mengetahui
wujud Allah swt.? Bila Anda melihat mobil bergerak di depan Anda dari jauh,
atau menyaksikan pesawat terbang melintas di udara, maka dengan yakin Anda
mengatakan bahwa pasti ada sopir yang menyetir mobil dan ada pilot yang
mengendalikan pesawat meskipun Anda tidak melihat mereka berdua. Karena jika
yang mengendalikan mobil atau pesawat itu tidak ada, mustahil mobil atau
pesawat itu dapat melalui rutenya dengan selamat.
Bagaimana kaitannya dengan wujud
Allah? Jawabnya, kita melihat matahari, bulan, bintang dan planet bergerak
teratur, malam dan siang berganti dengan keteraturan yang amat detil.
Mungkinkah mereka ada dan bergerak sendiri? Tidak diragukan lagi bahwa semuanya
telah diciptakan dan diatur oleh Allah swt. Jika Allah tidak ada kita memohon
ampun kepada-Nya mustahil matahari, bulan, bintang-bintang, planet, siang, dan
malam menjadi ada dan bertahan dengan pergerakannya yang amat teratur. Dengan
demikian pula tidak akan ada makhluk yang sangat tergantung dengan mereka
semua.
Wujud Allah
telah dibuktikan oleh fitrah, akal, syara’ dan indera.
1. Dalil
Fitrah.
Bukti fitrah tentang wujud Allah
adalah bahwa iman kepada sang Pencipta merupakan fitrah setiap makhluk, tanpa
terlebih dahulu berpikir atau belajar. Tidak akan berpaling dari tuntutan
fitrah ini, kecuali orang yang di dalam hatinya terdapat sesuatu yang dapat
memalingkannya. Rasulullah bersabda:
مَا مِنْ
مَوْلُوْدٍ يُوْلَدُ عَلَى الْفِطْرَةِ، فَأَبَوَاهُ يُهَوِّدَانِهِ أَوْ
يُنَصِّرَانِهِ أَوْ يُمَجِّسَانِهِ.
“Semua bayi yang dilahirkan dalam keadaan fitrah. Ibu bapaknyalah yang
menjadikannya Yahudi, Kristen, atau Majusi. ” (HR. Al Bukhari)
Ketika seseorang melihat makhluk
ciptaan Allah yang berbeda-beda bentuk, warna, jenis dan sebagainya, akal akan
menyimpulkan adanya semuanya itu tentu ada yang mengadakannya dan tidak mungkin
ada dengan sendirinya. Dan panca indera kita mengakui adanya Allah di mana kita
melihat ada orang yang berdoa, menyeru Allah dan meminta sesuatu, lalu Allah
mengabulkannya.
Adapun tentang pengakuan fitrah
telah disebutkan oleh Allah di dalam Al-Qur’an:
“Dan ingatlah ketika Tuhanmu
menurunkan keturunan anak-anak Adam dari sulbi mereka dan Allah mengambil
kesaksian terhadap jiwa mereka (seraya berfirman): ‘Bukankah Aku ini Tuhanmu’
Mereka menjawab: ‘ (Betul Engkau Tuhan kami) kami mempersaksikannya (Kami
lakukan yang demikian itu) agar kalian pada hari kiamat tidak mengatakan:
‘Sesungguhnya kami bani Adam adalah orang-orang yang lengah terhadap ini
(keesaan-Mu) atau agar kamu tidak mengatakan: ‘Sesungguhnya orang-orang tua
kami telah mempersekutukan Tuhan sejak dahulu sedangkan kami ini adalah
anak-anak keturunan yang datang setelah mereka.’” (QS. Al A’raf: 172-173).
Ayat ini merupakan dalil yang sangat
jelas bahwa fitrah seseorang mengakui adanya Allah dan juga menunjukkan, bahwa
manusia dengan fitrahnya mengenal Rabbnya. Adapun bukti syari’at, kita
menyakini bahwa syari’at Allah yang dibawa para Rasul yang mengandung maslahat
bagi seluruh makhluk, menunjukkan bahwa syari’at itu datang dari sisi Dzat yang
Maha Bijaksana. (Lihat Syarah Aqidah Al Wasithiyyah Syaikh Muhammad bin Shalih
Al ‘Utsaimin hal 41-45)
2. Dalil Al
Hissyi (Dalil Indrawi)
Bukti indera tentang wujud Allah dapat dibagi menjadi dua:
a. Kita dapat
mendengar dan menyaksikan terkabulnya doa orang-orang yang berdoa serta
pertolongan-Nya yang diberikan kepada orang-orang yang mendapatkan musibah. Hal
ini menunjukkan secara pasti tentang wujud Allah. Allah berfirman:
“Dan (ingatlah kisah) Nuh, sebelum
itu ketika dia berdoa dan Kami memperkenankan doanya, lalu Kami selamatkan dia
beserta keluarganya dari bencana yang besar.” (Al Anbiyaa 76).
“(Ingatlah), ketika kamu memohon
pertolongan kepada Rabbmu, lalu diperkenankan-Nya bagimu…” (Al Anfaal 9)
Anas bin Malik berkata, “Pernah ada
seorang Badui datang pada hari Jum’at. Pada waktu itu Nabi tengah berkhutbah.
Lelaki itu berkata, “Hai Rasul Allah, harta benda kami telah habis, seluruh
warga sudah kelaparan. Oleh karena itu mohonkanlah kepada Allah untuk mengatasi
kesulitan kami. ” Rasulullah lalu mengangkat kedua tangannya dan berdoa.
Tiba-tiba awan mendung bertebaran bagaikan gunung-gunung. Rasulullah belum
turun dari mimbar, hujan turun membasahi jenggotnya. Pada hari Jum’at yang
kedua, orang Badui atau orang lain berdiri dan berkata, “Hai Rasul Allah,
bangunan kami hancur dan harta benda pun tenggelam, doakanlah akan kami ini
(agar selamat) kepada Allah. ” Rasulullah lalu mengangkat kedua tangannya,
seraya berdoa: “Ya Rabbku, turunkanlah hujan di sekeliling kami dan janganlah
Engkau turunkan sebagai bencana bagi kami. ” Akhirnya beliau tidak
mengisyaratkan pada suatu tempat, kecuali menjadi terang (tanpa hujan). ” (HR.
Al Bukhari)
b. Tanda-tanda
para Nabi yang disebut mu’jizat, yang dapat disaksikan atau didengar banyak
orang merupakan bukti yang jelas tentang keberadaan Yang Mengutus para Nabi
tersebut, yaitu Allah, karena hal-hal itu berada di luar kemampuan manusia.
Allah melakukannya sebagai pemerkuat dan penolong bagi para Rasul.
Ketika Allah memerintahkan Nabi Musa
untuk memukul laut dengan tongkatnya, Musa memukulkannya, lalu terbelahlah laut
itu menjadi dua belas jalur yang kering, sementara air di antara jalur-jalur
itu menjadi seperti gunung-gunung yang bergulung. Allah berfirman, yang artinya:
“Lalu Kami wahyukan kepada Musa: “Pukullah lautan itu dengan tongkatmu.” Maka
terbelahlah lautan itu dan tiap-tiap belahan adalah seperti gunung yang besar.
” (Asy Syu’ara 63)
Contoh kedua adalah mu’jizat Nabi
Isa ketika menghidupkan orang-orang yang sudah mati; lalu mengeluarkannya dari
kubur dengan ijin Allah.
“…dan aku menghidupkan orang mati dengan seijin Allah…” (Al Imran 49)
“…dan (ingatlah) ketika kamu mengeluarkan orang mati dari kuburnya (menjadi
hidup) dengan ijin-Ku…” (Al Maidah 110)
Contoh ketiga adalah mu’jizat Nabi
Muhammad ketika kaum Quraisy meminta tanda atau mu’jizat. Beliau mengisyaratkan
pada bulan, lalu terbelahlah bulan itu menjadi dua, dan orang-orang dapat
menyaksikannya. Allah berfirman tentang hal ini, yang artinya: “Telah dekat (datangnya)
saat (Kiamat) dan telah terbelah pula bulan. Dan jika mereka (orang-orang
musyrik) melihat suatu tanda (mu’jizat), mereka berpaling dan berkata: “ (Ini
adalah) sihir yang terus-menerus. ” (Al Qomar 1-2)
Tanda-tanda yang diberikan Allah,
yang dapat dirasakan oleh indera kita itu adalah bukti pasti wujud-Nya.
3. Dalil
‘Aqli (dalil akal pikiran)
Bukti akal tentang adanya Allah
adalah proses terjadinya semua makhluk, bahwa semua makhluk, yang terdahulu
maupun yang akan datang, pasti ada yang menciptakan. Tidak mungkin makhluk
menciptakan dirinya sendiri, dan tidak mungkin pula tercipta secara kebetulan.
Tidak mungkin wujud itu ada dengan sendirinya, karena segala sesuatu tidak akan
dapat menciptakan dirinya sendiri. Sebelum wujudnya tampak, berarti tidak ada.
Lihatlah sekeliling anda dari tempat
duduk anda. Akan anda dapati bahwa segala sesuatu di ruang ini adalah “buatan”:
dindingnya sendiri, pelapisnya, atapnya, kursi tempat duduk anda, gelas di atas
meja dan pernak-pernik tak terhitung lainnya. Tidak ada satu pun yang berada di
ruang anda dengan kehendak mereka . Gulungan tikar sederhana pun dibuat oleh
seseorang: mereka tidak muncul dengan spontan atau secara kebetulan.
Begitu pula, orang yang memandang
suatu pahatan tidak sangsi sama sekali bahwa pahatan ini dibuat oleh seorang
pemahat. Hal ini bukan mengenai karya seni saja: batu bata yang bertumpukan pun
pasti dikira oleh siapa saja bahwa tumpukan batu bata sedemikian itu disusun
oleh seseorang dengan rencana tertentu. Karena itu, di mana saja yang terdapat
suatu keteraturan, entah besar entah kecil, pasti ada penyusun dan pelindung
keteraturan ini. Jika pada suatu hari seseorang berkata dan menyatakan bahwa
besi mentah dan batu bara bersama-sama membentuk baja secara kebetulan, yang
kemudian membentuk Menara Eiffel secara lagi-lagi kebetulan, tidakkah ia dan
orang yang mempercayainya akan dianggap gila?
Pernyataan teori evolusi, suatu
metode unik penyangkal keberadaan Allah, tidak berbeda daripada ini. Menurut
teori ini, molekul-molekul anorganik membentuk asam-asam amino secara
kebetulan, asam-asam amino membentuk protein-protein secara kebetulan, dan
akhirnya protein-protein membentuk makhluk hidup secara lagi-lagi kebetulan.
Akan tetapi, kemungkinan pembentukan makhluk hidup secara kebetulan ini lebih
kecil daripada kemungkinan pembentukan Menara Eiffel dengan cara yang serupa,
karena sel manusia bahkan lebih rumit daripada segala struktur buatan manusia
di dunia ini.
Bagaimana mungkin mengira bahwa
keseimbangan di dunia ini timbul secara kebetulan bila keserasian alam yang
luar biasa ini pun bisa teramati dengan mata telanjang? Pernyataan bahwa alam
semesta, yang semua unsurnya menyiratkan keberadaan Penciptanya, muncul dengan
kehendaknya sendiri itu tidak masuk akal.
Karena itu, pada keseimbangan yang
bisa dilihat di mana-mana dari tubuh kita sampai ujung-ujung terjauh alam
semesta yang luasnya tak terbayangkan ini pasti ada pemiliknya. Jadi, siapakah
Pencipta ini yang mentakdirkan segala sesuatu secara cermat dan menciptakan
semuanya?
Ia tidak mungkin Dzat material yang
hadir di alam semesta ini, karena Ia pasti sudah ada sebelum adanya alam
semesta dan menciptakan alam semesta dari sana. Pencipta Yang Maha Kuasa,
Dialah yang mengadakan segala sesuatu, sekalipun keberadaan-Nya tanpa awal atau
pun akhir.
Agama mengajari kita identitas
Pencipta kita yang keberadaannya kita temukan melalui akal kita. Melalui agama
yang diungkapkan kepada kita, kita tahu bahwa Dia itu Allah, Maha Pengasih dan
Maha Pemurah, Yang menciptakan langit dan bumi dari kehampaan.
Meskipun kebanyakan orang mempunyai
kemampuan untuk memahami kenyataan ini, mereka menjalani kehidupan tanpa
menyadari hal itu. Bila mereka memandang lukisan pajangan, mereka takjub siapa
pelukisnya. Lalu, mereka memuji-muji senimannya panjang-lebar perihal keindahan
karya seninya. Walau ada kenyataan bahwa mereka menghadapi begitu banyak
keaslian yang menggambarkan hal itu di sekeliling mereka, mereka masih tidak
mengakui keberadaan Allah, satu-satunya pemilik keindahan-keindahan ini. Sesungguhnya,
penelitian yang mendalam pun tidak dibutuhkan untuk memahami keberadaan Allah.
Bahkan seandainya seseorang harus tinggal di suatu ruang sejak kelahirannya,
pernak-pernik bukti di ruang itu saja sudah cukup bagi dia untuk menyadari
keberadaan Allah.
Tubuh manusia menyediakan begitu
banyak bukti yang mungkin tidak terdapat di berjilid-jilid ensiklopedi. Bahkan
dengan berpikir beberapa menit saja mengenai itu semua sudah memadai untuk
memahami keberadaan Allah. Tatanan yang ada ini dilindungi dan dipelihara oleh
Dia.
Tubuh manusia bukan satu-satunya
bahan pemikiran. Kehidupan itu ada di setiap milimeter bidang di bumi ini,
entah bisa diamati oleh manusia entah tidak. Dunia ini mengandung begitu banyak
makhluk hidup, dari organisme uniseluler hingga tanaman, dari serangga hingga
binatang laut, dan dari burung hingga manusia. Jika anda menjumput segenggam
tanah dan memandangnya, di sini pun anda bisa menemukan banyak makhluk hidup
dengan karakteristik yang berlainan. Di kulit anda pun, terdapat banyak makhluk
hidup yang namanya tidak anda kenal. Di isi perut semua makhluk hidup terdapat
jutaan bakteri atau organisme uniseluler yang membantu pencernaan. Populasi
hewan di dunia ini jauh lebih banyak daripada populasi manusia.
Jika kita juga mempertimbangkan dunia
flora, kita lihat bahwa tidak ada noktah tunggal di bumi ini yang tidak
mengandung kehidupan. Semua makhluk ini yang tertebar di suatu bidang seluas
lebih daripada jutaan kilometer persegi itu mempunyai sistem tubuh yang
berlainan, kehidupan yang berbeda, dan pengaruh yang berbeda terhadap
keseimbangan lingkungan. Pernyataan bahwa semua ini muncul secara kebetulan
tanpa maksud atau pun tujuan itu gila-gilaan. Tidak ada makhluk hidup yang
muncul melalui kehendak atau upaya mereka sendiri. Tidak ada peristiwa
kebetulan yang bisa menghasilkan sistem-sistem yang serumit itu.
Semua bukti ini mengarahkan kita ke
suatu kesimpulan bahwa alam semesta berjalan dengan “kesadaran” (consciousness)
tertentu. Lantas, apa sumber kesadaran ini? Tentu saja bukan makhluk-makhluk
yang terdapat di dalamnya. Tidak ada satu pun yang menjaga keserasian tatanan
ini. Keberadaan dan keagungan Allah mengungkap sendiri melalui bukti-bukti yang
tak terhitung di alam semesta. Sebenarnya, tidak ada satu orang pun di bumi ini
yang tidak akan menerima kenyataan bukti ini dalam hati sanubarinya. Sekalipun
demikian, mereka masih mengingkarinya “secara lalim dan angkuh, kendati hati
sanubari mereka meyakininya” sebagaimana yang dinyatakan dalam Al Qur’an.
(Surat An-Naml: 14)
Semua makhluk tidak mungkin tercipta
secara kebetulan, karena setiap yang diciptakan pasti membutuhkan pencipta.
Adanya makhluk-makhluk itu di atas undang-undang yang indah, tersusun rapi, dan
saling terkait dengan erat antara sebab-musababnya dan antara alam semesta satu
sama lainnya. Semua itu sama sekali menolak keberadaan seluruh makhluk secara
kebetulan, karena sesuatu yang ada secara kebetulan, pada awalnya pasti tidak
teratur.
Kalau makhluk tidak dapat
menciptakan diri sendiri, dan tidak tercipta secara kebetulan, maka jelaslah,
makhluk-makhluk itu ada yang menciptakan, yaitu Allah Rabb semesta alam.
Allah menyebutkan dalil aqli (akal)
dan dalil qath’i dalam surat Ath Thuur: “Apakah mereka diciptakan tanpa sesuatu
pun ataukah mereka yang menciptakan (diri mereka sendiri)?” (Ath Thuur 35)
Dari ayat di atas tampak bahwa makhluk tidak diciptakan tanpa pencipta, dan
makhluk tidak menciptakan dirinya sendiri. Jadi jelaslah, yang menciptakan
makhluk adalah Allah.
Ketika Jubair bin Muth’im mendengar
dari Rasulullah yang tengah membaca surat Ath Thuur dan sampai kepada ayat-ayat
ini: “Apakah mereka diciptakan tanpa sesuatu pun, ataukah mereka yang
menciptakan (diri mereka sendiri)? Ataukah mereka telah menciptakan langit dan
bumi itu? Sebenarnya mereka tidak meyakini (apa yang mereka katakan). Ataukah
di sisi mereka ada perbendaharaan Rabbmu atau merekakah yang berkuasa?” (Ath
Thuur 35-37)
“Ia, yang tatkala itu masih musyrik
berkata, “Hatiku hampir saja terbang. Itulah permulaan menetapnya keimanan
dalam hatiku. ” (HR. Al Bukhari)
Dalam hal ini kami ingin memberikan
satu contoh. Kalau ada seseorang berkata kepada Anda tentang istana yang
dibangun, yang dikelilingi kebun-kebun, dialiri sungai-sungai, dialasi oleh
hamparan karpet, dan dihiasi dengan berbagai perhiasan pokok dan penyempurna,
lalu orang itu mengatakan kepada Anda bahwa istana dengan segala
kesempurnaannya ini tercipta dengan sendirinya, atau tercipta secara kebetulan
tanpa pencipta, pasti Anda tidak akan mempercayainya, dan menganggap perkataan
itu adalah perkataan dusta dan dungu. Kini kami bertanya pada Anda, masih
mungkinkah alam semesta yang luas ini beserta apa-apa yang berada di dalamnya
tercipta dengan sendirinya atau tercipta secara kebetulan?!
4. Dalil
Naqli (Dalil Syara’)
Bukti syara’ tentang wujud Allah
bahwa seluruh kitab langit berbicara tentang itu. Seluruh hukum yang mengandung
kemaslahatan manusia yang dibawa kitab-kitab tersebut merupakan dalil bahwa
kitab-kitab itu datang dari Rabb yang Maha Bijaksana dan Mengetahui segala
kemaslahatan makhluknya. Berita-berita alam semesta yang dapat disaksikan oleh
realitas akan kebenarannya yang didatangkan kitab-kitab itu juga merupakan
dalil atau bukti bahwa kitab-kitab itu datang dari Rabb yang Maha Kuasa untuk
mewujudkan apa yang diberitakan itu.
Maka apakah mereka tidak
memperhatikan Al Qur’an? Kalau kiranya Al Qur’an itu bukan dari sisi Allah,
tentulah mereka mendapat pertentangan yang banyak di dalamnya. (QS. 4:82)
Demikian juga adanya para Rasul dan
agama yang bersesuaian dengan kemaslahatan umat manusia menunjukkan adanya
Allah, karena tidak mungkin ada agama dan Rasul kecuali ada yang mengutusnya.
Akan tetapi agama-agama yang ada selain Islam telah mengalami penyimpangan dan
perubahan sehingga mereka menyimpang dari jalan yang lurus.
Setelah kita mengenal dan mengimani
keberadaan Allah sebagaimana telah dijelaskan diatas, maka perlu kita kenali
Allah sebagai Rabb yang telah menciptakan, memiliki dan mengatur semua
makhluknya, Dialah satu-satunya pencipta yang mengadakan sesuatu dari
ketiadaan, Allah berfirman:
Allah pencipta langit dan bumi, dan
bila Dia berkehendak (untuk menciptakan) sesuatu, maka (cukuplah) Dia hanya
mengatakan kepadanya:”Jadilah”. Lalu jadilah ia. (QS. 2:117)
Dialah satu-satunya pemilik
sebagaimana Dia adalah satu-satunya pencipta, demikian juga Dia pengatur
satu-satunya yang mengatur segala sesuatu. Semua ini diakui oleh kaum musyrikin
Makkah, sebagaimana diberitakan dalam Al Qur’an: Katakanlah: “Siapakah yang
memberi rezeki kepadamu dari langit dan bumi, atau siapakah yang kuasa (menciptakan)
pendengaran dan penglihatan, dan siapakah yang mengeluarkan yang hidup dari
yang mati dan yang mengeluarkan yang mati dari yang hidup dan siapakah yang
mengatur segala urusan.” Maka mereka menjawab: “Allah.” Maka katakanlah:
“Mengapa kamu tidak bertaqwa (kepada-Nya)?” (QS. 10:31)
Katakanlah: “Kepunyaan siapakah bumi
ini, dan semua yang ada padanya, jika kamu mengetahui” Mereka akan menjawab:
“Kepunyaan Allah”. Katakanlah: “Maka apakah kamu tidak ingat?” Katakanlah:
“Siapakah Yang Empunya langit yang tujuh dan Yang Empunya ‘Arsy yang besar?”
Mereka akan menjawab: “kepunyaan Allah”. Katakanlah: “Maka apakah kamu tidak
bertaqwa?” Katakanlah: “Sipakah yang di tangan-Nya berada kekuasaan atas segala
sesuatu sedang Dia melindungi, tetapi tidak ada yang dapat dilindungi dari
(azab)-Nya, jika kamu mengetahui?” Mereka akan menjawab: “Kepunyaan Allah.”
Katakanlah: “(Kalau demikian), maka dari jalan manakah kamu ditipu?” (QS.
23:84-89)
Dan sungguh jika kamu bertanya
kepada mereka :”Siapakah yang menciptakan mereka, niscaya mereka menjawab:
“Allah”, maka bagaimanakah mereka dapat dipalingkan (dari menyembah Allah).
(QS. 43:87)
Ini semua menunjukkan imannya kaum
musyrikin terhadap Rububiyah Allah, akan tetapi hal ini tidak cukup untuk
menyelamatkan mereka. Memang demikianlah, sebab mereka belum merealisasikan
iman mereka terhadap Allah sebagai satu-satunya sesembahan.
5. Dalil
Sejarah.
Adalah dalil-dalil kekuasaan dan
keagungan Allah yang diambil dari peristiwa-peristiwa yang telah berlaku di
atas muka bumi.
v Q. 3:137,
Sesungguhnya telah lalu beberapa peraturan (Allah) sebelum kamu, maka
berjalanlah kamu di muka bumi dan perhatikanlah bagaimana akibatnya orang-orang
yang mendustakan agama.
v Q. 7:176,
Demikianlah umpamanya kaum yang mendustakan ayat-ayat Kami. Sebab itu
kisahkanlah kisah itu, mudah-mudahan mereka berpikir.
v Q. 12:111,
Sesungguhnya dalam kisah-kisah mereka itu ada ibrah (pengajaran) bagi
orang-orang yang berakal.
v Q. 11:120,
Setiap riwayat kami kisahkan kepadamu di antara perkhabaran para Rasul supaya Kami
tenteramkan hatimu dengannya.
6.
Mengagungkan Allah dan MenTauhidkan Allah.
Dari semua dalil-dalil yang dapat
dilihat di atas itu adalah berfungsi menguatkan pandangan kita betapa keagungan
Allah swt begitu luar biasa dan menundukkan kita sendiri di hadapan keagungan
ini. Langsung mencetuskan Tauhidullah yang luar biasa.Q.S 21:92, Sesungguhnya
ini, ummat kamu (hai mukminin) ummat yang satu dan Aku Tuhanmu, sebab itu
sembahlah Aku.
2.3
Implementasi tauhid dalam kehidupan
Para ulama Ahlus Sunnah Wal Jama’ah
baik dari kalangan salaf maupun khalaf setelah meneliti dalil-dalil baik dari
Al-Qur’an maupun As-Sunnah tentang Tauhid mereka menyimpulkan bahwa Tauhid itu
dibagi menjadi tiga, yaitu Tauhid Rububiyyah, Tauhid Uluhiyyah dan Tauhid
Al-Asma’ Wa Ash Shifat.
Dibawah ini Beberapa Pernyataan
Ulama Salaf Tentang Pembagian Tauhid:
1. Al-Imam Abu Ja’far Ahmad bin Muhammad Ath-Thahawi rahimahullah (wafat tahun 321H).
1. Al-Imam Abu Ja’far Ahmad bin Muhammad Ath-Thahawi rahimahullah (wafat tahun 321H).
Dalam salah satu karya
monumentalnya, Al-’Aqidah Ath-Thahawiyyah, Al-Imam Abu Ja’far Ath-Thahawi
menegaskan:
“Kita katakan tentang tauhidullah
dalam keadaan meyakini dengan taufiq Allah, bahwa sesungguhnya Allah adalah Esa
tidak ada sekutu bagi-Nya, tidak ada sesuatupun yang semisal dengan-Nya, tidak
ada sesuatupun yang bisa mengalahkannya, tidak ada ilah selain Dia.”
Penjelasan tentang pernyataan
Al-Imam Ath-Thahawi rahimahullah:
“Allah adalah Esa tidak ada sekutu bagi-Nya” meliputi tiga jenis tauhid sekaligus, karena Allah Esa dalam Rububiyyah-Nya, dalam Uluhiyyah, dan dalam Al-Asma wa Ash-Shifat -Nya.
“Allah adalah Esa tidak ada sekutu bagi-Nya” meliputi tiga jenis tauhid sekaligus, karena Allah Esa dalam Rububiyyah-Nya, dalam Uluhiyyah, dan dalam Al-Asma wa Ash-Shifat -Nya.
“Tidak ada sesuatupun yang semisal
dengan-Nya” ini adalah Tauhid Al-Asma` wa Ash-Shifat “Tidak ada sesuatupun yang
bisa mengalahkannya“, ini adalah Tauhid Ar-Rububiyyah. “Tidak ada ilah selain
Dia” ini adalah Tauhid Al-Uluhiyyah.
2. Al-Imam ‘Ubaidullah bin Muhammad bin Baththah Al-’Ukbari rahimahullah (wafat tahun 387 H)
Dalam karya besarnya yang berjudu
l-Ibanatul Kubra, beliau mengatakan:
“Bahwa dasar iman kepada Allah yang wajib atas makhluk (manusia dan jin) untuk meyakininya dalam menetapkan keimanan kepada-Nya, ada tiga hal:
“Bahwa dasar iman kepada Allah yang wajib atas makhluk (manusia dan jin) untuk meyakininya dalam menetapkan keimanan kepada-Nya, ada tiga hal:
Ø Pertama:
Seorang hamba harus meyakini Rububiyyah-Nya, yang dengan itu dia menjadi
berbeda dengan atheis yang tidak menetapkan adanya pencipta.
Ø Kedua:
Seorang hamba harus meyakini Wahdaniyyah-Nya, yang dengan itu dia menjadi
berbeda dengan jalannya orang-orang musyrik yang mengakui sang Pencipta namun
menyekutukan-Nya dengan beribadah kepada selain-Nya.
Ø Ketiga:
Meyakini bahwa Dia bersifat dengan sifat-sifat yang Dia harus bersifat
dengannya, berupa sifat Ilmu, Qudrah, Hikmah, dan semua sifat yang Dia
menyifati diri-Nya dalam kitab-Nya.”
Penjelasan
Tentang Makna Tiga Macam Tauhid tersebut:
1) Tauhid
Ar-Rububiyyah, adalah keyakinan bahwa Allah Azza wa Jalla adalah satu-satunya
Rabb. Makna Rabb adalah Dzat yang Maha Menciptakan, yang Maha Memiliki dan
Menguasai, serta Maha Mengatur seluruh ciptaan-Nya. Ayat-ayat yang menunjukkan
tauhid Ar-Rububiyyah sangat banyak, di antaranya (artinya): “Sesungguhnya Rabb
kalian hanyalah Allah yang telah menciptakan langit dan bumi dalam enam hari, lalu
Dia beristiwa` di atas ‘Arsy. Dia menutupkan malam kepada siang yang
mengikutinya dengan cepat. (Diciptakan-Nya pula) matahari, bulan dan
bintang-bintang (semuanya) tunduk kepada perintah-Nya. Ingatlah, hak mencipta
dan memerintah hanyalah milik Allah. Maha Suci Allah, Rabb semesta
alam.[Al-A’raf: 54]
Kaum musyrikin Quraisy juga mengakui Tauhid Rububiyyah berdasarkan firman Allah Azza wa Jalla (artinya):“Dan Sesungguhnya jika kamu tanyakan kepada mereka: “Siapakah yang menjadikan langit dan bumi dan menundukkan matahari dan bulan?” tentu mereka akan menjawab: “Allah”,Maka betapakah mereka (dapat) dipalingkan (dari jalan yangbenar).[Al-’Ankabut:61]Dari ayat diatas bisa disimpulkan bahwa kaum musyrikin mengakui bahwa hanya Allah-lah satu-satunya Yang Maha Menciptakan, Maha Mengatur, dan Maha Memberi Rizki.
Kaum musyrikin Quraisy juga mengakui Tauhid Rububiyyah berdasarkan firman Allah Azza wa Jalla (artinya):“Dan Sesungguhnya jika kamu tanyakan kepada mereka: “Siapakah yang menjadikan langit dan bumi dan menundukkan matahari dan bulan?” tentu mereka akan menjawab: “Allah”,Maka betapakah mereka (dapat) dipalingkan (dari jalan yangbenar).[Al-’Ankabut:61]Dari ayat diatas bisa disimpulkan bahwa kaum musyrikin mengakui bahwa hanya Allah-lah satu-satunya Yang Maha Menciptakan, Maha Mengatur, dan Maha Memberi Rizki.
Contoh-contoh
Penyimpangan Dalam Tauhid Rububiyyah Penyimpangan dalam tauhid rububiyyah yaitu
dengan meyakini adanya yang menciptakan, menguasai, dan mengatur alam semesta
ini selain Allah Azza wa Jalla dalam hal yang hanya dimampui oleh Allah Azza wa
Jalla.Seperti keyakinan bahwa penguasa dan pengatur Laut Selatan adalah Nyi
Roro Kidul. Ini suatu keyakinan yang bathil. Barangsiapa meyakini bahwa
penguasa dan pengatur laut selatan adalah Nyi Roro Kidul maka dia telah berbuat
syirik (menyekutukan Allah Azza wa Jalla) dalam Rububiyyah-Nya. Karena hanya
Allah-lah
Yang
Menguasai dan Mengatur alam semesta ini. Begitu juga barangsiapa meyakini bahwa
yang mengatur padi-padian adalah Dewi Sri, berarti ia telah syirik dalam hal
Rububiyyah-Nya, karena hanya Allah-lah Yang Maha Menciptakan dan Mengatur alam
semesta ini.
Meyakini
bahwa benda tertentu bisa memberi perlindungan dan pertolongan terhadap dirinya
seperti jimat, keris, cincin, batu, pohon, dan lain-lain.Serta keyakinan bahwa
sebagian para wali bisa memberi rizki, dan bisa pula memberi barokah, juga
termasuk kesyirikan dalam Rububiyyah-Nya.
2.) Tauhid
Al-Uluhiyyah, adalah keyakinan bahwa Allah Azza wa Jalla adalah satu-satu-Nya
Dzat yang berhak diibadahi dengan penuh ketundukan, pengagungan, dan kecintaan.
Dinamakan juga dengan Tauhidul ‘Ibadah atau Tauhidul ‘Ubudiyyah, karena hamba
wajib memurnikan ibadahnya hanya kepada Allah Azza wa Jalla semata. Ayat-ayat
Al-Qur`an yang menunjukkan tauhid jenis ini sangat banyak, diantaranya:“Maka
ketahuilah, bahwa sesungguhnya tidak ada Ilah yang berhak diibadahi kecuali
Allah.” [Muhammad:19] Juga firman Allah Azza wa Jalla:“Beribadahlah kalian
hanya kepada Allah dan jangan menyekutukan-Nya dengan sesuatu apapun.”
[An-Nisa`: 36].Rabbul ‘Alamin adalah satu-satu-Nya Dzat yang berhak dan pantas
untuk diibadahi. Oleh karena itu, Allah Azza wa Jalla memerintahkan umat
manusia untuk beribadah hanya kepada-Nya, karena Dia adalah Rabb. Termasuk juga
Allah Azza wa Jalla memerintahkan kepada kaum musyrikin arab, yang mengakui
bahwa Allah Azza wa Jalla sebagai Rabb satu-satunya, untuk mereka beribadah
hanya kepada-Nya.
Allah Azza
wa Jalla berfirman:
“Wahai umat
manusia, beribadahlah kalian kepada Rabb kalian.” [Al-Baqarah: 21] Contoh-contoh
Penyimpangan-penyimpangan dalam tauhid uluhiyyah.Penyimpangan dalam tauhid
jenis ini yaitu dengan memalingkan ibadah kepada selain Allah Azza wa Jalla
seperti berdoa kepada kuburan atau ahli kubur, meminta pertolongan kepada jin,
meminta barokah kepada orang tertentu, menyandarkan nasibnya (bertawakkal)
kepada benda tertentu, seperti batu, jimat, cincin, keris, dan semacamnya.
Karena do’a dan tawakkal termasuk ibadah, maka harus ditujukan hanya kepada
Allah Azza wa Jalla semata. (Mereka mengakui Allah Azza wa Jalla sebagai Tuhan
mereka, namun mereka masih menyembah, beribadah atau meminta pertolongan kepada
makhluk-makhluk dan benda-benda lain, red)
3.) Tauhid
Al-Asma` wa Ash-Shifat, adalah keyakinan bahwa Allah Azza wa Jalla memiliki
nama-nama yang indah (al-asma`ul husna) dan sifat-sifat yang mulia sesuai
dengan keagungan dan kemuliaan-Nya, sebagaimana yang Allah Azza wa Jalla
beritakan dalam Al-Qur`an, atau sebagaimana yang diberitakan oleh Rasulullah r
dalam hadits-haditsnya yang shahih. Sekaligus meyakini dan beriman bahwa tidak
ada sesuatupun yang serupa dengan Allah Azza wa Jalla.Di antara sekian banyak
ayat Al-Qur`an yang menunjukkan tauhid ini, firman Allah Azza wa Jalla:“Hanya
milik Allah al-asma`ul husna, maka berdo’alah kalian kepada-Nya dengan
menyebutnya (al-asma`ul husna) dan tinggalkanlah orang-orang yang menyimpang
dari kebenaran dalam (mengimani) nama-nama-Nya.
Nanti mereka akan mendapat balasan
terhadap apa yang telah mereka kerjakan.”[Al-A’raf:180] Allah Azza wa Jalla
berfirman:“Tidak ada sesuatupun yang menyerupai Allah dan Dia Maha Mendengar
lagi Maha Melihat.” [Asy Syura: 11]
Contoh-contoh Penyimpangan dalam tauhid Al-Asma’ wa Ash Shifat:
Tidak meyakini bahwa Allah Azza wa
Jalla mempunyai sifat-sifat yang sempurna tersebut. Padahal telah disebutkan
dalam Al-Qur’an atau dalam hadits Nabi Shalallahu ‘alaihi wa Sallam yang
shahih.
Menyerupakan sifat-sifat Allah Azza
wa Jalla dengan sifat-sifat makhluk-Nya. Padahal Allah Azza wa Jalla telah
berfiman (artinya):
“Tidak ada sesuatupun yang menyerupai Allah dan Dia Maha Mendengar lagi Maha Melihat.” [Asy Syura: 11].
“Tidak ada sesuatupun yang menyerupai Allah dan Dia Maha Mendengar lagi Maha Melihat.” [Asy Syura: 11].
Menyelewengkan atau menta’wil makna
Al-Asma’ul Husna, yang berujung pada peniadaan sifat-sifat Allah Azza wa Jalla.
Menentukan cara dari sifat-sifat
Allah Azza wa Jalla, yang bermuara pada penyerupaan dengan makhluk-Nya.Wallahu
ta’ala a’lam bish-shawab.
2.4
Pemurnian Tauhid
Upaya pemurnian tauhid tidak akan
tuntas hanya dengan menjelaskan makna tauhid, akan tetapi harus dibarengi
dengan penjelasan tentang hal hal yang dapat merusak dan menodai tauhid. Untuk
itu, pada bab-bab berikutnya, penulis berusaha menjelaskan berbagai macam
bentuk tindakan dan perbuatan yang dapat membatalkan atau mengurangi
kesempurnaan tauhid, dan menodai kemurniannya, yaitu apa yang disebut dengan
syirik, baik syirik akhbar maupun syirik ashghor, dan hal hal yang tidak
termasuk syirik tetapi dilarang oleh Islam, karena menjurus kepada kemusyrikan,
disertai pula dengan keterangan tentang latar belakang historis timbulnya syirik.
Hal-halmembatalkan atau mengurangi kesempurnaan tauhid tersebut dijelaskan
dalam bab-bab yang diantaranya:
- Memakai
Gelang dan Sejenisnya untuk Menangkal Bahaya adalah Perbuatan Syirik
- Minta
Berkah Kepada Pepohonan, Bebatuan atau yang Sejenisnya
- Menyembelih
binatang bukan karena Allah Subhanahu wata’ala
- Bernadzar
untuk selain Allah adalah syirik
- Meminta
perlindungan kepada selain Allah adalah syirik
- Berdo’a
kepada selain Allah adalah syirik
- Penyebab
utama kekafiran adalah berlebih-lebihan dalam mengagungkan orang-orang
sholeh
- Larangan
beribadah kepada Allah di sisi kuburan
- Berlebih-lebihan
terhadap kuburan orang-orang sholeh menjadi sebab dijadikannya sesembahan
selain Allah
- Hukum
Sihir, Macam-macam Sihir, Dukun, tukang ramal dan sejenisnya
- Nusyrah
- Tathoyyur
- Ilmu
nujum (Perbintangan)
- Menisbatkan
turunnya hujan kepada binatang
- Merasa
aman dari siksa Allah dan berputus asa dari RahmatNya
- Riya’
- Beramal
sholeh untuk kepentingan dunia adalah syirik
- Mentaati
ulama dan umara’ dalam menghalalkan yang haram dan mengharamkan yang halal
berarti mempertuhankan mereka
- Berhakim
kepada selain Allah
- Mengingkari
sebagian Asma’ dan Sifat Allah
- Ingkar
terhadap nikmat Allah
- Larangan
menjadikan sekutu buat Allah
- Tidak
rela terhadap sumpah yang menggunakan nama Allah
- Ucapan
: “Atas kehendak Allah dan kehendakmu”
- Mencaci
masa berarti mencaci Allah
- Penggunaan
gelar “qodli qudlot” [hakimnya para hakim]
- Bersenda
gurau dengan menyebut nama Allah, Al Qur’an atau Rasulullah SAW
- Memberi
nama yang diperhambakan kepada selain Allah
- Larangan
mengucapkan “ As salamu alallah”
- Ucapan
“Ampunilah aku jika engkau menghendaki”
- Larangan
mengucapkan “Hambaku”
- Larangan
menolak permintaan yang menyebut nama Allah
- Larangan
meminta sesuatu dengan menyebut nama Allah kecuali surga
- Ucapan
“Seandainya”
- Larangan
mencaci maki angin
- Mengingkari
takdir
- Orang
yang menggambar (Mushowwir)
- Larangan
banyak bersumpah
- Larangan
bersumpah mendahului Allah
- Larangan
menjadikan Allah sebagai wasilah kepada mahlukNya
- dan
hal-hal lain yang berhubungan dengan pemurnian tauhid kepada Allah
Tauhid
menjadi perkara yang paling agung dalam agama ini karena tauhid merupakan
tujuan penciptaan jin dan manusia. Hal ini sebagaimana yang Alloh Azza wa Jalla
firmankan: "Dan Aku tidak menciptakan jin dan manusia melainkan agar
mereka beribadah kepada-Ku."(Adz-Dzariyat:56) Tauhid merupakan tujuan
da'wah seluruh Nabi dan Rasul yang Allah utus.Allah menyatakan: "Dan
sesungguhnya Kami telah mengutus rasul pada tiap-tiap umat (untuk menyerukan):
'Sembahlah Allah (saja), dan jauhilah thaghut (sesembahan-sesembahan selain
Allah) itu'." (An-Nahl:36). Dengan tauhid yang sempurna seseorang akan
meraih kebahagiaan hidup di dunia dengan selamat dari berbagai macam kesesatan,
dan akan meraih kebahagiaan di akhirat dengan rasa aman dari berbagai ketakutan
dan adzab neraka. Allah menyatakan: "Orang-orang yang beriman dan tidak mencampur
adukkan iman mereka dengan kezhaliman (syirik), mereka itulah orang-orang yang
mendapat keamanan dan mereka itulah orang-orang yang mendapat
petunjuk."(Al-An'am.82). Dengan tauhid suatu kaum akan diberi kekuasaan,
dikokohkan agamanya, dan dikaruniai kehidupan yang aman di muka bumi ini. Allah
berfirman: "Dan Allah telah berjanji kepada orang-orang yang beriman di
antara kalian dan mengerjakan amal-amal yang shalih bahwa Dia sungguh-sungguh
akan menjadikan mereka berkuasa di bumi, sebagaimana Dia telah menjadikan
orang-orang yang sebelum mereka berkuasa, dan sungguh Dia akan meneguhkan bagi
mereka agama yang telah diridhai-Nya untuk mereka, dan Dia benar-benar akan
menukar (keadaan) mereka, sesudah mereka berada dalam ketakutan menjadi aman
sentosa. Mereka tetap menyembah-Ku dengan tiada mempersekutukan sesuatu apa pun
dengan Aku. Dan barangsiapa yang (tetap) kafir sesudah (janji) itu, maka mereka
itulah orang-orang yang fasiq." (An-Nur: 55) Itulah di antara keutamaan
tauhid, yang mana tidak akan mungkin seseorang bisa kokoh di atas tauhid
kecuali dengan memahami secara rinci bentuk-bentuk kesyirikan, baik berupa
jimat-jimat, perdukunan, sihir, klenik dan yang lainnya, kemudian menjauhkan
diri dari perkara-perkara tersebut sejauh-jauhnya.
Inilah terjemah dari kitab An Nahjus Sadiid fi Syarhi Kitabit tauhid, karya Syaikh Shalih bin abdul aziz AluSyaikh
Inilah terjemah dari kitab An Nahjus Sadiid fi Syarhi Kitabit tauhid, karya Syaikh Shalih bin abdul aziz AluSyaikh
BAB III
PENUTUP
3.1 Kesimpulan
Aqidah adalah ketetapan yang tidak
ada keraguan pada orang yang mengambil keputusan, atau sebuah keyakinan. Keyakinan
yang kokoh kepada Allah SWT dimana tidak ada keraguan di dalam dirinya. Yakin
bahwa Allah itu Esa/ satu, dan tidak berbuat kafir atau menyekutukan Allah.
Aqidah islam itu sendiri bersumber
dari Al-Qur’an dan As Sunah, bukan dari akal atau pikiran manusia. Akal pikiran
itu hanya digunakan untuk memahami apa yang terkandung pada kedua sumber aqidah
tersebut yang mana wajib untuk diyakini dan diamalkan.
Atas dasar ini, akidah merzcerminkan
sebuah unsur kekuatan yang mampu menciptakan mu'jizat dan merealisasikan
kemenangan-kemenangan besar di zaman permulaan Islam.
Keyakinan harus di dasari dengan
mengesakan Allah, karena barang siapa yang menyakin adanya Tuhan maka hendaknya
harus yakin bahwa Allah itu esa/satu. Seperti di tuangkan pada surat Al Ikhlas
bermakna memurnikan ke esaan Allah SWT, diterangkan bahwa kandungan Al-Qur’an
ada tiga macam: Tauhid, kisah-kisah dan hukum-hukum. Dan dalam surat ini
terkandung sifat-sifat Allah yang merupakan tauhid. Dinamakan surat Al-Ikhlash
karena didalamnya terkandung keikhlasan (tauhid) kepada Allah dan dikarenakan
membebaskan pembacanya dari syirik (menyekutukan Allah).
3.2 Saran
Semoga apa yang telah kami
sajikan tadi dapat diambil intisarinya yang kemudian diamalkan juga semoga
berguna bagi kehidupan kita di masa yang akan datang.
DAFTAR
PUSTAKA
Penerbit Pustaka At-Taqwa, Po Box 264 Bogor 16001,
Cetakan Pertama Jumadil Akhir 1425HIAgustus 2004M.
Drs. H. Yunahar Ilyas. Kuliah Aqidah Islam. (Yogyakarta: 1992). h. 1
Al-Banna, Majmu’atu ar-Rasail. Muassasah ar-Risalah Beirut: tanpa tahun. h.165
Al-Jazairy, Aqidah al-Mukmin. (Cairo: 1978). h. 21
Drs. Edi Suresman. A.Md. Aqidah Islam. Malang. IKIP. 1993.
Drs. Edu Suresman. Aqidah Islam. (Malang: 1993). h. 1
Ibid. h. 21
Al-Jazairy, Abu Bakar Jabir. Aqidah al-Mukmin. Cairo. Maktabah al-Kulliyat al-Azhariyah. 1978.
Drs. H. Yunahar Ilyas. Kuliah Aqidah Islam. (Yogyakarta: 1992). h. 6
Dr. Ahmad Daudy, Kuliah Aqidah Islam. Jakarta. Bulan Bintang. 1997
0 komentar nya:
Post a Comment