Makalah Tentang Pendekatan Pelembagaan dan Ranah Pengembangan Profesi Guru

Posted By Muhammad Aziz on Saturday, October 29, 2016 | 2:55 PM

BAB I
PENDAHULUAN

A.    Latar Belakang
Jika pendidikan merupakan salah satu instrumen utama pengembangan sumber daya manusia, berarti tenaga kependidikan terutama guru, memiliki tanggungjawab untuk mengemban tugas itu. Siapa saja yang menyandang profesi sebagai tenaga kependidikan, dia harus secara kontinyu menjalani profesionalisasi. Namun demikian, masalah esensial yang dihadapi dalam pengelolaan tenaga kependidikan di Indonesia saat ini tidak lagi semata-mata terletak pada bagaimana menghasilkan tenaga kependidikan yang bermutu melalui lembaga pendidikan tenaga kependidikan atau perguruan tinggi yang memiliki program pengadaan tenaga kependidikan, melainkan sejauh mana profesi itu dapat diakui oleh negara sebagai profesi yang sesungguhnya.
B.     Rumusan Masalah
1.      Bagaimana Pendekatan Karakteristik?
2.      Bagaimana Pendekatan Institusional?
3.      Bagaimana Pendekatan Legalistik?
4.      Bagaimana Penyediaan Guru?
5.      Bagaimana Induksi Guru Pemula?
6.      Bagaimana Profesionalisasi Guru Berbasis Lembaga dan Individu?

C.    Tujuan
1.      Untuk mengetahui Bagaimana Pendekatan Karakteristik.
2.      Untuk mengetahui Bagaimana Pendekatan Institusional.
3.      Unutk mengetahui Bagaimana Pendekatan Legalistik.
4.      Unutk mengetahui Bagaimana Penyediaan Guru.
5.      Unutk mengetahui Bagaimana Induksi Guru Pemula.
6.      Unutk mengetahui Bagaimana Profesionalisasi Guru Berbasis Lembaga dan Individu.

BAB II
PEMBAHASAN

A.    Pendekatan Pelembagaan Profesi

1)      Pendekatan Karakteristik
Pendekatan karakteristik (the trait approach) memandang bahwa profesi mempunyai seperangkat elemen inti yang membedakannya dengan pekerjaan lain. Seseorang penyandang profesi dapat disebut profesional manakala elemen-elemen inti itu sudah menjadi bagian integral dari kehidupannya.
Hasil studi beberapa ahli mengenai sifat-sifat atau karakteristik-karakteristik profesi itu menghasilkan kesimpulan sebagai berikut :
a.       Kemampuan Intelektual yang diperoleh melalui pendidikan. Pendidikan yang dimaksud adalah jenjang pendidikan tinggi. Termasuk dalam kerangka ini, pelatihan-pelatihan khusus yang berkaitan dengan keilmuan yang dimiliki oleh seorang penyandang profesi.
b.      Memiliki pengetahuan spesialisasi. Pengetahuan spesialisasi adalah sebuah kekhususan penguasaan bidang keilmuan tertentu. Siapa saja bisa menjadi “guru”, akan tetapi guru yang sesungguhnya memiliki spesialisasi bidang studi dan penguasaan metodologi pembelajaran.
c.       Memiliki pengetahuan praktis yang dapat digunakan langsung oleh orang lain atau klien. Pengetahuan ini bersifat aplikatif, dimana aplikasi didasari atas kerangka teori yang jelas dan teruji.
d.      Memiliki teknik kerja yang dapat dikomunikasikan atau communicable. Seorang guru harus mampu berkomunikasi sebagai guru dalam makna apa yang disampaikannya dapat dipahami oleh peserta didik.
e.       Memiliki kapasitas mengorganisasikan kerja secara mandiri atau selforganization. Istilah mandiri disini berarti bahwa kewenangan akademiknya melekat pada dirinya. Pekerjaan yang dia lakukan dapat dikelola sendiri, tanpa bantuan orang lain, meski tidak berarti menafikan bantuan atau mereduksi semangat kolegialitas.
f.       Mementingkan kepentingan orang lain (altruism). Seorang guru harus siap memberikan layanan kepada anak didiknya pada saat bantuan itu diperlukan, apakah dikelas, di lingkungan sekolah, bahkan diluar sekolah.
g.      Memiliki kode etik. Kode etik ini merupakan norma-norma yang mengikat guru dalam bekerja.
h.      Memiliki sanksi dan tanggungjawab komunita. Manakala terjadi “malpraktik”, seorang guru harus siap menerima sanksi pidana, sanksi dari masyarakat atau sanksi dari atasannya.
i.        Mempunyai sistem upah. Maksudnya adalah standar gaji.
j.        Budaya profeesional. Budaya profesi bisa berupa penggunaan simbol-simbol yang berbeda dengan simbol-simbol profesi lain.

2)      Pendekatan Institusional
Pendekatan intitusional (the institutional approach) memandang profesi dari segi proses institusional atau perkembangan asosiasional. Maksudnya kemajuan suatu pekerjaan kearah pencapaian status ideal suatu profesi dilihat atas dasar tahap-tahap yang harus dilalui untuk melahirkan proses pelembagaan suatu pekerjaan menuju profesi yang sesungguhnya.
H.L. Wilensky (1976) mengemukakan lima langkah untuk memprofesionalkan suatu pekerjaan :
1.      Memunculkan suatu pekerjaan yang penuh waktu atau fulltime, bukan pekerjaan sambilan.
2.      Menetapkan sekolah tempat menjalani proses pendidikan atau pelatihan.
3.      Mendirikan asosiasi profesi. Bentuk asosiasi itu bermacam-macam seperti persatuan guru (PGRI), ikatan petugas bimbingan indonesia (IPBI) dan sebagainya.
4.      Melakukan perlakuan politisi utntuk memperjuangkan adanya perlindungan hukum terhadap asosiasi atau penghimpunan tersebut.
5.      Mengadopsi secara formal kode etik yang ditetapkan.
Berbeda dengan Wilensky, T. Caplow (1975) mengemukakan lima tahap memprofesionalkan pekerjaan :
1.      Menetapkan perkumpulan profesi, yang merupakan sebuah organisasi yang keanggotaannya terdiri dari orang-orang yang seprofesi atau seminat.
2.      Mengubah dan menetapkan pekerjaan itu menjadi suatu kebutuhan.
3.      Menetapkan dan mengembangkan kode etik.
4.      Melancarkan agitasi untuk memperoleh dukungan masyarakat.
5.      Secara bersama mengembangkan fasilitas latihan, yang merupakan wahana bagi penyandang profesi untuk mengembangkan kemampuan profesionalnya menuju sosok profesi yang sesungguhnya.
Tahap-tahap untuk memprofesionalkan suatu pekerjaan diatas, tidak mutlak dilakukan secara rijid. Artinya tidak mutlak harus “menetapkan pekerjaan terlebih” dahulu melainkan dapat diawali dengan mendirikan sekolah-sekolah atau universitas sebagai wahana pendidikan.
3)      Pendekatan Legalistik
Pendekatan legalistik (the legalistic approach) yaitu pendekatan yang menekankan adanya pengakuan atas suatu profesi oleh negara atau pemerintah. Suatu pekerjaan dapat disebut profesi jika dilindungi oleh undang-undang atau produk hukum yang ditetapkan oleh pemerintahan suatu negara.
Menurut M. Friedman (1976), pengakuan atas suatu pekerjaan menjadi suatu profesi sungguhan dapat ditempuh melalui tiga tahap, yaitu :
a.       Registrasi (registration) adalah suatu aktivitas, dimana jika seseorang yang ingin melakukan pekerjaan profesional, terlebih dahulu rencananya harus diregistrasikan pada kantor registrasi milik negara.
b.      Sertifikasi (certification) mengandung makna, jika hasil penelitian atau persyaratan pendaftaran yang diajukan oleh calon penyandang profesi dipandang memenuhi persyaratan, kepadanya diberikan pengakuan oleh negara atas kemampuan dan keterampilan yang dimilikinya. Bentuk pengakuan tersebut adalah pemberian sertifikat kepada penyandang profesi itu.
c.       Lisensi (licensing) mengandung makna, bahwa atas dasar sertifikat yang dimiliki oleh seseorang barulah orang tersebut memperoleh izin atau lisensi dari negara untuk mempraktikkan pengetahuan dan keterampilan yang dimilikinya.




B.     Ranah Pengembangan Profesi Guru

1)      Penyediaan Guru
Berkaitan dengan penyediaan guru, Undang-undang No. 14 Tahun 2005 tentang guru dan dosen dan Peraturan Pemerintah No. 74 Tahun 2008 tentang guru telah menggariskan bahwa hal itu menjadi kewenangan lembaga pendidikan tenaga kependidikan, yang dalam buku ini disebut sebagai penyediaan guru berbasis perguruan tinggi. Menurut dua hukum ini, lembaga pendidikan tenaga kependidikan dimaksud adalah perguruan tinggi yang diberi tugas oleh pemerintah untuk menyelenggarakan program pengadaan guru pada pendidikan anak usia dini jalur pendidikan formal, pendidikan dasar, dan pendidikan menengah, serta untuk menyelenggarakan dan mengembangkan ilmu kependidikan dan non-kependidikan.
Guru dimaksud harus memiliki kualifikasi akademik sekurang-kurangnya S1/D-IV dan bersertifikat pendidik. Jika seorang guru telah memiliki keduanya, statusnya diakui oleh negara sebagai guru profesional. Pada sisi lain baik UU No. 14 Tahun 2005 tentang guru dan dosen maupun PP No. 74 tentang guru telah mengamanatkan bahwa kedepan, hanya yang berkualifikasi S1/D-IV bidang kependidikan dan nonkependidikan yang memenuhi syarat sebagai guru.
Beberapa amanat penting dari dua produk hukum ini :
·         Calon peserta pendidikan profesi berkualifikasi S1/D-IV.
·         Sertifikat pendidik bagi guru diperoleh melalui program pendidikan profesi yang diselenggarakan oleh perguruan tinggi yang memiliki program pengadaan tenaga kependidikan yang terakreditasi baik yang diselenggarakan oleh pemerintah maupun masyarakat, dan ditetapkan oleh pemerintah.
·         Sertifikasi pendidik bagi calon guru harus dilakukan secara objektif, transparan, dan akuntabel.
·         Jumlah peserta didik program pendidikan profesi setiap tahun ditetapkan oleh Menteri.
·         Program pendidikan profesi diakhiri dengan uji kompetensi pendidik.
·         Uji kompetensi pendidik dilakukan melalui ujian tertulis dan ujian kinerja sesuai dengan standar kompetensi.
·         Ujian tertulis dilaksanakan secara komprehensif yang mencakup penguasaan wawasan, materi pelajaran, konsep-konsep keilmuan.
·         Ujian kinerja dilaksanakan secara holistik dalam bentuk ujian praktik pembelajaran yang mencerminkan penguasaan kompetensi pedagogik, kepribadian, profesional, dan sosial pada satuan pendidikan yang relevan.
Jika regulasi ini dipatuhi secara taat asas, tidak ada alasan calon guru pada sekolah-sekolah di Indonesia berkualitas dibawah standar. Namun demikian, ternyata setelah mereka direkrut untuk menjadi guru, yang dalam skema kepegawaian negara untuk pertama  kali berstatus sebagai CPNS guru, mereka belum bisa langsung bertugas penuh ketika menginjakkan kaki pertama kali di sekolah. Melainkan mereka masih harus memasuki fase prakondisi yang disebut induksi.
2)      Induksi Guru Pemula
Lahirnya UU No. 14 Tahun 2005 dan PP No. 74 Tahun 2008 seperti yang dimaksudkan diatas mengisyaratkan bahwa kedepan, hanya lulusan S1/D-IV yang memiliki sertifikat pendidiklah yang akan direkrut menjadi guru. Namun demikian, sunggupun guru yang direkrut telah memiliki kualifikasi minimum dan sertifikat pendidik, yang dalam produk hukum dilegitimasi sebagai telah memiliki kewenangan penuh, ternyata masih diperlukan program induksi untuk memposisikan mereka menjadi guru yang benar-benar profesional.
Program induksi merupakan masa transisi bagi guru pemula terhitung mulai dia pertama kali menginjakkan kaki disekolah atau satuan pendidikan hingga benar-benar layak dilepas untuk menjalankan tugas pendidikan dan pembelajaran secara mandiri.
Kebijakan ini memperoleh legitimasi akademik, karena secara teoritis dan empiris lazim dilakukan dibanyak negara. Sehebat apapun pengalaman teoritis calon guru disekolah, ketika menghadapi realitas dunia kerja, suasananya akan lain. Disinilah esensi program induksi yang tidak dibahas secara detail.
3)      Profesionalisasi Guru Berbasis Lembaga
Kegiatan pembinaan dan pengembangan dilaksanakan secara sistematis dengan menempuh tahapan-tahapan tertentu, seperti analisis kebutuhan, perumusan sasaran dan tujuan, desain program, implementasi dan deliveri program, dan evaluasi program. Ini berarti bahwa kegiatan pembinaan dan pengembangan kemampuan profesional guru secara berkelanjutan harus dilaksanakan atas perencanaan, pengorganisasian, pelaksanaan, dan evaluasi yang sistematis.
Tujuan dari sasaran pendidikan dan pelatihan guru ditetapkan dengan mencerminkan kondisi yang diingini, sekaligus menjadi ukuran keberhasilan program itu. Evaluasi program dimaksudkan untuk menentukan tingkat keberhasilan kegiatan-kegiatan pembinaan dan pengembangan yang dilakukan, serta kelemahan-kelemahan selama proses penyelenggaraan. Hal ini akan menjadi umpan balik bagi perencanaan program pengembangan yang lebih efektif dan efisien.
Saat ini berkembang kecenderungan-kecenderungan baru dalam pembinaan dan pengembangan tenaga kependidikan, terutama tenaga guru, kecenderungan-kecenderungan baru dimaksud adalah :
ü  Berbasis pada program penelitian.
ü  Menyiapkan guru untuk menguji dan mengases kemampuan praktis dirinya.
ü  Diorganisasikan dengan pendekatan kolegialitas.
ü  Berfokus pada partisipasi guru dalam proses pembuatan keputusan mengenai isu-isu esensial di lingkungan sekolah.
ü  Membantu guru-guru yang dipandang masih lemah pada beberapa aspektertentu dari kompetensinya.
Dengan demikian kegiatan ini merujuk kepada peluang-peluang belajar yang didesain secara sengaja untuk membantu pertumbuhan profesional guru. Ini dimaksudkan untuk meningkatkan dan mengembangkan kompetensi pedagogik, kepribadian, profesional dan sosial.
4)      Profesionalisasi Guru Berbasis Individu
Untuk menjadi guru profesional, perlu perjalanan panjang. Diawali dari penyiapan calon guru, rekrutmen, penempatan, penugasan, pengembangan profesi dan karir, hingga menjadi guru profesional sungguhan, yang menjalani profesionalisasi secara terus-menerus.
Edi suharto mengemukakan masyarakat madani adalah sebuah masyarakat demokratis dimana anggotanya menyadari akan hak-hak dan kewajibannya dalam menyuarakan pendapat dan mewujudkan kepentingan-kepentingannya, dimana pemerintahannya memberikan peluang yang seluas-luasnya bagi kreatifitas warga negara untuk mewujudkan program-program pembangunan diwilayahnya.
Guru profesional sesungguhnya adalah guru yang didalam melaksanakan tugas pokok dan fungsinya bersifat otonom, menguasai kompetensi secara komprehensif, dan daya intelektual tinggi. Kata otonom mengandung makna, bahwa guru profesional adalah mereka yang secara profesional dapat melaksanakan tugas dengan pendekatan bebas dari intervensi kekuasaan atau birokrasi pendidikan. Dengan demikian, guru harus menjadi profesional sungguhan untuk bisa tumbuh secara madani. Guru profesional melebihi batas-batas yang dimiliki oleh guru profesional yang banyak dibahas dalam literatur akademik.
Ciri-ciri umum guru profesional adalah :
Ø  Melakukan profesionalisasi-diri.
Ø  Memotivasi-diri.
Ø  Memiliki disiplin-diri.
Ø  Mengevaluasi-diri.
Ø  Memiliki kesadaran-diri.
Ø  Melakukan pengembangan-diri.
Ø  Menjadi pembelajaran.
Ø  Melakukan hubungan-efektif.
Ø  Berempati tinggi.
Ø  Taat asas pada kode etik.
Guru profesional pun adalah pembelajar sejati dan menjunjung tinggi kode etik dalam bekerja. Sejalan dengan uraian sebelumnya, guru profesional bercirikan sebagai berikut :
v  Mempunyai kemampuan profesionalnya dan siap uji atas kemampuannya itu.
v  Memiliki kemampuan berintegrasi antarguru dan kelompok lain yang ‘seprofesi’ dengan mereka melalui kontrak dan aliansi sosial.
v  Melepaskan diri dari belenggu kekuasaan birokrasi, tanpa menghilangkan makna etika kerja dan tata santun berhubungan dengan atasannya.
v  Memiliki rencana dan program pribadi untuk meningkatkan kompetensi.
v  Berani dan mampu memberikan masukan kepada semua pihak dalam rangka perbaikan mutu pendidikan dan pembelanjaran, termasuk dalam penyusunan kebijakan bidang pendidikan.
v  Siap bekerja secara tanpa diatur, karena sudah bisa mengatur dan mendisiplinkan dirinya.
v  Siap bekerja tanpa diseru atau diancam, karena sudah bisa memotivasi dan mengatur dirinya.
v  Secara rutin melakukan evaluasi-diri untuk mendapatkan umpan balik demi perbaikan-diri.
v  Memiliki empati yang kuat.
v  Mampu berkomunikasi secara efektif.
v  Menjunjung tinggi etika kerja dan kaidah-kaidah hubungan kerja.
v  Menjunjung tinggi kode etik organisasi tempatnya bernaung.
v  Memiliki kesetiaan dan kepecayaan.
v  Adanya kebebasan diri dalam beraktualisasi dalam kegiatan lembaga-lembaga sosial dengan berbagai ragam perspektif. 






BAB III
PENUTUP

A.    Kesimpulan
Pendekatan karakteristik (the trait approach) memandang bahwa profesi mempunyai seperangkat elemen inti yang membedakannya dengan pekerjaan lain. Pendekatan intitusional (the institutional approach) memandang profesi dari segi proses institusional atau perkembangan asosiasional. Pendekatan legalistik (the legalistic approach) yaitu pendekatan yang menekankan adanya pengakuan atas suatu profesi oleh negara atau pemerintah.
Guru profesional sesungguhnya adalah guru yang didalam melaksanakan tugas pokok dan fungsinya bersifat otonom, menguasai kompetensi secara komprehensif, dan daya intelektual tinggi. Kata otonom mengandung makna, bahwa guru profesional adalah mereka yang secara profesional dapat melaksanakan tugas dengan pendekatan bebas dari intervensi kekuasaan atau birokrasi pendidikan. Dengan demikian, guru harus menjadi profesional sungguhan untuk bisa tumbuh secara madani. Guru profesional melebihi batas-batas yang dimiliki oleh guru profesional yang banyak dibahas dalam literatur akademik.


B.     Saran
Makalah yang kami buat belum sempurna  sesuai yang diharapkan, karena itu kami hanya manusia biasa yang tidak luput dari khilaf / kesalahan, kelebihan itu hanya milik Allah SWT semata. Untuk itu kami mengharapkan kritik dan saran dari semua pihak atau pembaca demi perbaikan di masa mendatang.







DAFTAR PUSTAKA

Sudarwan Danim, 2010. Profesi Kependidikan.Bandung :Alfabeta, cv
Bafadal, Ibrahim, 1992. Supervisi Pengajaran. Jakarta : Bumi Aksara
A.M., Sardiman. 2012. Interaksi dan Motivasi Belajar-Mengajar, ed. I, cet. 21. Jakarta: Rajawali Pers.
Republik Indonesia, Undang-undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional.












Blog, Updated at: 2:55 PM

0 komentar nya:

Post a Comment