BAB
I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Sebelum memperoleh
kemedekaan, bangsa Indonesia terlebih dahulu memproklamasikan kemerdekaannya
yang dikenal dengan “Proklamasi Kemerdekaan”. Proses ini berawal dari
terdengarnya berita kekalahan Jepang dari pihak sekutu, seketika juga kelompok
pemuda mendesak Soekarno-Hatta untuk segera memproklamasikan kemerdekaan Bangsa
Indonesia. Akan tetapi dengan alasan menunggu janji Jepang untuk memberikan
kemerdekaan Indonesia, Soekarno-Hatta tidak dengan segera memproklamasikan kemerdekaan
Indonesia. Hal inilah yang mendorong para pemuda melakukan aksi penculikan
terhadap Soekarno-Hatta ke Rengasdengklok yang akhirnya dikenal dengan “Peristiwa
Rengasdengklok”. Atas nama bangsa
Indonesia Proklamasi Kemerdekaan telah dikumandangkan oleh Bung Karno
didampingi oleh Bung Hatta pada tanggal 17 Agustus 1945. Satu langkah maju
sudah ada pada genggaman bangsa Indonesia melalui Proklamasi kemerdekaan
tersebut. Sebagai negara yang baru memproklamasikan kemerdekaan, Indonesia
mendapat simpati dari bangsa-bangsa di dunia. Hal ini tampak dari adanya
pengakuan negara lain terhadap Proklamasi 17 Agustus 1945. Sebagai sebuah
negara merdeka, maka pada tanggal 18 Agustus 1945 ditetapkan Undang-Undang
Dasar (UUD 1945) dan pemilihan Presiden yaitu Bung Karno dan Bung Hatta sebagai
Wakil Presiden. Kemerdekaan Indonesia sudah diproklamasikan tanggal 17
Agustus 1945. Meskipun demikian, Belanda tidak mengakui kemerdekaan itu
dan terus berusaha untuk menjajah Indonesia kembali. Setelah kedatangan sekutu ke Indonesia dalam rangka
mengambil alih kekuasaan dari tangan Jepang, ternyata diikuti oleh Belanda yang
ingin menjajah kembali Indonesia, maka rakyat Indonesia di berbagai daerah
mengangkat senjata untuk mempertahankan kemerdekaan.
Bangsa
Indonesia berjuang dengan gigih untuk mempertahankan kemerdekaan. Ada dua
bentuk perjuangan mempertahakan kemerdekaan, yaitu perjuangan fisik dan
perjuangan diplomasi. Perjuangan fisik dilakukan dengan cara bertempur
melawan musuh. Perjuangan diplomasi dilakukan dengan cara menggalang
dukungan dari negara-negara lain dan lewat perundingan-perundingan. Kemerdekaan Indonesia tentu merupakan sebuah bencana
bagi negara yang telah menjajah Indonesia.. Maka, Proklamasi Kemerdekaan Indonesia pada tanggal 17 Agustus
1945 bukanlah akhir perjuangan bangsa Indonesia. Akan tetapi, ia adalah awal
perjuangan baru bangsa ini dalam membangun sebuah tatanan berbangsa dan
bernegara. Sebuah negara berdiri bukan hanya berdasarkan wilayah, namun juga
membutuhkan perangkat pemerintahan, dan yang terpenting adalah pengakuan
kedaulatan dari negara lain. Karena pada hakikatnya (seperti halnya manusia
sebagai makhluk sosial), dalam kehidupan bernegara juga membutuhkan negara lain
agar bangsa dan negara ini dapat bergaul dan tidak terkucilkan dalam hubungan
internasional.
B. Rumusan Masalah
Dalam penulisan Makalah Kajian IPS SD, penulis
memiliki rumusan masalah yang digunakan dalam penyusunan makalah tersebut.
Adapun rumusan masah dalam proses penyusunan makalah ini antara lain:
1. Apa
yang menyebabkan terjadinya konflik antara Indonesia dan Belanda pasca
Kemerdekaan Indonesia?
2. Apa
saja peran dunia internasional dalam penyelesaian konflik Indonesia-Belanda?
3. Bagaimana
perjuangan perlawanan bangsa Indonesia di daerah-daerah dalam mempertahankan
kemerdekaan?
4. Bagaimana
perjuangan diplomasi Indonesia dalam mempertahankan kemerdekaan?
5. Apa
saja faktor yang memaksa Belanda keluar dari Indonesia?
Rumusan
masalah yang telah tersebut pada bagian atas diharapkan dapat menjadi patokan
penulis dalam meyusun makalah Kajian IPS SD tentang Usaha Mempertahankan
Kemerdekaan.
C. Tujuan Penulisan
Melalui
makalah Kajian IPS SD mengenai Usaha Mempertahankan Kemerdekaan, diharapkan
mahasiswa PGSD memilki kemampuan sebagai berikut:
1. Kemampuan
untuk mengidentifikasi konflik yang terjadi antara Indonesia dan Belanda pasca
Kemerdekaan Indonesia
2. Kemampuan
untuk mengidentifikasi peran dunia internasional dalam penyelesaian konflik
Indonesia-Belanda
3. Kemampuan
untuk mendeskripsikan perjuangan rakyat dan pemerintah di berbagai daerah
4. Kemampuan
untuk mengetahui perjuangan diplomasi yang dilakukan oleh bangsa Indonesia demi
mempertahankan kemerdekaan Indonesia
5. Kemampuan
untuk mengidentifikasi faktor-faktor yang memaksa Belanda keluar dari Indonesia
D. Manfaat Penulisan
Melalui
makalah Kajian IPS SD mengenai Usaha Mempertahankan Kemerdekaan, diharapkan
dapat memberikan kegunaan kepada pembaca maupun penulis. Adapun manfaat yang
terdapat dalam makalah ini adalah:
1. Pembaca
dapat memahami penyebab terjadinya konflik antara Indonesia-Belanda pasca
kemerdekaan Indonesia
2. Pembaca
dapat mengetahui peranan dunia internasional dalam penyelesaian konflik
Indonesia Belanda
3. Mengetahui
pertempuran-pertempuran yang terjadi di daerah-daerah demi mempertahankan
kemerdekaan
4. Pembaca
dapat mengetahui perjuangan-perjuangan diplomasi Bangsa Indonesia demi
mempertahankan kemerdekaannya
5. Pembaca
mengetahui faktor yang menyebabkan Belanda keluar dari Indonesia
BAB II
PEMBAHASAN
A. Penyebab Terjadinya Konflik Indonesia-Belanda
Pasca Kemerdekaan
Perjuangan bangsa Indonesia semenjak Proklamasi
Kemerdekaan hari demi hari semakin nyata hasilnya. Akan tetapi tantangan yang
dihadapi selalu silih berganti. Seperti telah kita ketahui bahwa Proklamasi
Kemerdekaan dikumandangkan pada tanggal 17 Agustus 1945. Selanjutnya pada
tanggal 18 Agustus 1945 ditetapkan Undang-Undang Dasar (UUD 1945) dan dipilih
Ir. Soekarno sebagai Presiden sedangkan Drs. Moh. Hatta sebagai Wakil Presiden.
Perjuangan bangsa Indonesia selanjutnya semakin berat karena harus
mempertahankan kemerdekaan dari rongrongan kekuasaan bangsa asing.
Adapun faktor-faktor yang menyebabkan terjadinya
konflik antara Indonesia dengan Belanda sebagai berikut:
1.
Kedatangan
Tentara Sekutu Diboncengi oleh NICA
Semenjak
Jepang menyerah tanpa syarat kepada Sekutu pada tanggal 14 Agustus 1945 maka
secara hukum jepang tidak lagi berkuasa di Indonesia. Hal ini mengakibatkan
Indonesia berada dalam keadaan Vacum Of Power (tidak ada seorang pemerintah
yang berkuasa) maka pada waktu itu dimanfaatkan sebaik-baiknya oleh bangsa
Indonesia untuk memproklamasikan kemerdekaannya. Pada tanggal 10 September 1945
Panglima Bala Tentara Kerajaan Jepang di Jawa mengumumkan bahwa pemerintahan
akan diserahkan pada Sekutu bukan pada pihak Indonesia. Dan pada tanggal 14 September
perwirwa Sekutu datang ke Jakarta untuk mempelajari dan melaporkan keadaan di
Indonesia menjelang pendaratan rombongan Sekutu.
Pada
tanggal 29 September 1945 akhirnya Sekutu mendarat di Indonesia yang bertugas
melucuti tentara Jepang. Semula rakyat Indonesia menyambut dengan senang hati
kedatangan Sekutu, karena mereka mengumandangkan perdamaian. Akan tetapi,
setelah diketahui bahwa Netherlands Indies Civil Administration (NICA) di bawah
pimpinan Van der Plass dan Van Mook ikut di dalamnya, sikap rakyat Indonesia
menjadi curiga dan bermusuhan. NICA adalah organisasi yang didirkan orang-orang
Belanda yang melarikan diri ke Australia setelah Belanda menyerah pada Jepang.
Organisasi ini semula didirikan dan berpusat di Australia. Keadaan bertambah buruk
karena NICA mempersenjatai kembali KNIL setelah dilepas oleh Sekutu dari
tawanan Jepang. Adanya keinginan Belanda berkuasa di Indonesia menimbulkan
pertentangan, bahkan diman-mana terjadi pertempuran melawan NICA dan Sekutu.
Tugas
yang diemban oleh Sekutu yang dalam hal ini dilakukan oleh Allied Forces
Netherlands East Indies (AFNEI) di bawah Letnan Sir Philip Christinson. Mereka
memiliki keinginan untuk menghidupkan kembali Hindia Belanda. Adapun tugas
AFNEI di Indonesia adalah sebagai berikut :
1. Menerima penyerahan dari tangan Jepang.
2. Membebaskan para tawanan perang dan interniran Sekutu.
3. Melucuti dan mengumpulkan orang Jepang untuk kemudian
dipulangkan.
4. Menegakkan dan mempertahankan keadaan damai untuk
kemudian diserahkan kepada pemerintahan sipil.
5. Menghimpun keterangan tentang penjahat perang dan
menuntut mereka di depan pengadilan.
Kedatangan pasukan Sekutu pada
mulanya disambut dengan sikap netral oleh pihak Indonesia. Namun, setelah
diketahui bahwa Sekutu membawa NICA(Netherland Indies Civil Administration)
sikap masyarakat berubah menjadi curiga karena NICA adalah pegawai sipil
pemerintah Hindia Belanda yang dipersiapkan untuk mengambil alih pemerintahan
sipil di Indonesia. Para pemuda memberikan sambutan tembakan selamat datang.
Situasi keamanan menjadi semakin buruk sejak NICA mempersenjatai kembali
tentara KNIL yang baru dilepaskan dari tawanan Jepang.
Melihat kondisi yang kurang
menguntungkan, Panglima AFNEI menyatakan pengakuan sedara de facto atas
Republik Indonesia pada tanggal 1 Oktober 1945. Sejak saat itu, pasukan AFNEI
diterima dengan tangan terbuka oleh pejabat-pejabat RI di daerah-daerah untuk
membantu memperlancar tugas-tugas AFNEI.
Namun dalam kenyataannya di
daerah-daerah yang didatangi Sekutu selalu terjadi insiden dan pertempuran dengan
pihak RI. Hal itu disebabkan pasukan Sekutu tidak bersungguh-sungguh
menghormati kedaulatan RI. Sebaliknya pihak Sekutu yang merasa kewalahan,
menuduh pemerintah RI tidak mampu menegakkan keamanan dan ketertiban sehingga
terorisme merajalela. Pihak Belanda yang bertujuan menegakkan kembali
kekuasaannya di Indonesia berupaya memanfaatkan situasi ini dengan memberi
dukungan kepada pihak Sekutu. Panglima Angkatan Perang Belanda, Laksamana
Helfrich, memerintahkan pasukannya untuk membantu pasukan Sekutu.
Kedatangan tentara Sekutu yang
diboncengi NICA menyebabkan terjadinya konflik dan pertempuran di berbagai
daerah. Keinginan Belanda untuk kembali menjajah Indonesia berhadapan dengan
rakyat Indonesia yang mempertahankan kemerdekaannya. Oleh karena itu, terjadi
pertempuran di berbagai daerah di Indonesia. Konflik antara Indonesia-Belanda
ini akhirnya melibatkan peran dunia internasional untuk menyelesaikannya.
2.
Kedatangan
NICA (Belanda) Berupaya Untuk Menegakkan Kembali Kekuasaannya di Indonesia
NICA
berusaha mempersenjatai kembali KNIL (Koninklijk Nerderlands Indisch Leger,
yaitu Tentara Kerajaan Belanda yang ditempatkan di Indonesia). Orang-orang NICA
dan KNIL di Jakarta, Surabaya dan Bandung mengadakan provokasi sehingga
memancing kerusuhan. Sebagai pimpinan AFNEI, Christison menyadari bahwa untuk
kelancaran tugasnya diperlukan bantuan dari Pemerintah Republik Indonesia. Oleh
karena itu diadakanlah perundingan dengan pemerintah RI. Christison mengakui
pemerintahan de facto Republik Indonesia pada tanggal 1 Oktober 1945. la tidak
akan mencampuri persoalan yang menyangkut status kenegaraaan Indonesia. Dalam
kenyataannya pasukan Sekutu sering membuat hura-hara dan tidak menghormati
kedaulatan bangsa Indonesia. Gerombolan NICA sering melakukan teror terhadap pemimpin-pemimpin
kita. Dengan demikian bangsa Indonesia mengetahui bahwa kedatangan Belanda yang
membonceng AFNEI adalah untuk menegakkan kembali kekuasaannya di Indonesia.
Oleh karena itu bangsa kita berjuang dengan cara-cara diplomasi maupun kekuatan
senjata untuk melawan Belanda yang akan menjajah kembali. Konflik antara
Indonesia dengan Belanda ini akhirnya melibatkan peran dunia intemasional untuk
menyelesaikannya.
B. Peran Dunia Internasional dalam
Penyelesaian Konflik Indonesia-Belanda
Konflik
yang terjadi antara Indonesia-Belanda pasca kemerdekaan Indonesia akhirnya
melibatkan dunia Internasional untuk menyelesaikan masalah tersebut.
Adapun
peran dunia internasional dalam penyelesaian konflik Indonesia-Belanda yaitu:
1.
Peranan
Perserikatan Bangsa-Bangsa
Pada tanggal 31 Juli 1947 India dan Australia
mengajukan masalah Indonesia- Belanda ini kepada Dewan Keamanan PBB. Dalam
Sidang Dewan Keamanan pada tanggal 1 Agustus 1947 dikeluarkan resolusi yang
mengajak kedua belah pihak untuk menghentikan tembak menembak, menyelesaikan
pertikaian melalui perwasitan (arbitrase) atau dengan cara damai yang lain.
Menindaklanjuti ajakan PBB untuk penyelesaian dengan cara damai, maka Republik
Indonesia menugaskan Sutan Syahrir dan H. Agus Salim sebagai duta yang
berbicara dalam sidang Dewan Keamanan PBB. Sutan Syahrir menyatakan bahwa untuk
mengakhiri konflik antara Indonesia dengan Belanda jalan satu-satunya adalah
pembentukan Komisi Pengawas dalam pelaksanaan resolusi Dewan Keamanan.
Ditambahkan pula agar Dewan Keamanan menerima usul Australia secara keseluruhan
dan penarikan pasukan Belanda ke tempat kedudukan sebelum agresi militer. Usul
ini didukung oleh Rusia dan Polandia. Di samping itu Rusia juga mengusulkan
pembentukan Komisi Pengawas gencatan senjata.
Usul di atas didukung oleh Amerika
Serikat, Australia, Brazilia, Columbia, Polandia, dan Suriah tetapi diveto
Perancis, sebab dianggap terlalu menguntungkan Indonesia. Pada tanggal 25
Agustus 1947 Dewan Keamanan PBB menerima usul Amerika Serikat tentang pembentukan
Komisi Jasa-Jasa Baik (Committee of Good Offices) untuk membantu menyelesaikan
pertikaian Indonesia-Belanda. Komisi inilah yang kemudian dikenal dengan Komisi
Tiga Negara (KTN), yang terdiri atas :
a. Australia (diwakili oleh Richard
C. Kirby), atas pilihan Indonesia,
b. Belgia (diwakili oleh Paul Van
Zeeland), atas pilihan Belanda,
c. Amerika Serikat (diwakili oleh
Dr. Frank Porter Graham), atas pilihan Australia dan Belgia.
Pada tanggal 27 Oktober 1947 KTN
tiba di Jakarta untuk melaksanakan tugasnya. Dalam melaksanakan tugasnya, KTN
mengalami kesulitan karena Indonesia maupun Belanda tidak mau bertemu di
wilayah yang dikuasai pihak lainnya. Akhirnya KTN berhasil mempertemukan
Indonesia-Belanda dalam suatu perundingan yang berlangsung pada tanggal 8
Desember 1947 di atas kapal perang Amerika Serikat “Renville” yang berlabuh di
teluk Jakarta. Perundingan ini dikenal dengan perundingan Renville. Akibat dari
perundingan Renville wilayah Rl semakin sempit dan kehilangan daerah-daerah
yang kaya karena diduduki Belanda.
2.
Peranan
Konferensi Asia dan Resolusi Dewan Keamanan PBB
Aksi militer Belanda tanggal 21 Juli 1947 terhadap
Republik Indonesia menimbulkan reaksi dunia luar. Inggris dan Amerika Serikat
tidak setuju dengan tindakan Belanda itu, tetapi ragu-ragu turun tangan. Di
antara negara yang tampil mendukung Indonesia adalah Autralia dan India.
Australia mendukung Indonesia karena ingin menegakkan perdamaian dan keamanan
dunia sesuai dengan piagam PBB. Di samping itu Partai Buruh Australia yang
sedang berkuasa sangat simpatik terhadap perjuangan kemerdekaan. Sedangkan India
mendukung Indonesia karena solidaritas sama-sama bangsa Asia juga senasib
karena sebagai bangsa yang menentang penjajahan. Hubungan Indonesia dengan
India terjalin baik terbukti pada tahun 1946 Indonesia menawarkan bantuan padi
sebanyak 500.000 ton untuk disumbangkan kepada India yang sedang dilanda bahaya
kelaparan. Sebaliknya India juga menawarkan benang tenun, alat-alat pertanian,
dan mobil. Pada waktu Belanda melakukan aksi militernya yang kedua yakni pada
tanggal 19 Desember 1948, Perdana Menteri India Pandit Jawaharlal Nehru dan
Perdana Menteri Birma (Myanmar) U Aung San memprakarsai Konferensi Asia.
Konferensi ini diselanggarakan di New Delhi dari tanggal 20 - 23 Januari 1949
yang dihadiri oleh utusan dari negara-negara Afganistan, Australia, Burma (Myanmar),
Sri Langka, Ethiopia, India, Iran, Iraq, Libanon, Pakistan, Philipina, Saudi
Arabia, Suriah dan Yaman. Hadir sebagai peninjau adalah wakil dari
negara-negara Cina, Nepal, Selandia Baru, dan Muangthai. Wakil-wakil dari
Indonesia yang hadir antara lain Mr. A.A. Maramis, Mr. Utojo, Dr. Surdarsono,
H. Rasjidi, dan Dr. Soemitro Djojohadikusumo. Konferensi Asia tersebut
menghasilkan resolusi yang kemudian disampaikan kepada Dewan Keamanan PBB. Isi
resolusinya antara lain sebagai berikut.
a. Pengembalian Pemerintah Republik Indonesia ke
Yogyakarta.
b. Pembentukan perintah ad interim yang mempunyai
kemerdekaan dalam politik luar negeri,
sebelum tanggal 15 Maret 1949;
c. Penarikan tentara Belanda dari seluruh Indonesia
d. Penyerahan kedaulatan kepada pemerintah Indonesia
Serikat paling lambat pada tanggal 1 Januari 1950.
Dengan adanya dukungan dari
negara-negara di Asia, Afrika, Arab, dan Australia terhadap Indonesia, maka
pada tanggal 28 Januari 1949 Dewan Keamanan PBB mengeluarkan resolusi yang
disampaikan kepada Indonesia dan Belanda sebagai berikut.
a. Mendesak Belanda untuk segera dan sungguh-sungguh menghentikan seluruh operasi militernya dan mendesak pemerintah RI untuk memerintahkan kesatuan-kesatuan gerilya supaya segera menghentikan aksi gerilya mereka.
b. Mendesak Belanda untuk
membebaskan dengan segera tanpa syarat Presiden dan Wakil Presiden beserta
tawanan politik yang ditahan sejak 17 Desember 1948 di wilayah RI; pengembalian
pemerintahan RI ke Yogyakarta dan membantu pengembalian pegawai-pegawai RI ke
Yogyakarta agar mereka dapat menjalankan tugasnya dalam suasana yang benar-benar
bebas.
c. Menganjurkan agar RI dan Belanda
membuka kembali perundingan atas dasar persetujuan Linggar jati dan Renville,
dan terutama berdasarkan pembentukan suatu pemerintah ad interim federal paling
lambat tanggal 15 Maret 1949, Pemilihan untuk Dewan Pembuatan Undang-Undang
Dasar Negara Indonesia Serikat selambat-Iambatnya pada tanggal l Juli 1949.
d. Sebagai tambahan dari putusan
Dewan Keamanan, Komisi Tiga Negara diubah menjadi UNCI (United Nations
Commission for Indonesia = Komisi PBB untuk Indonesia dengan kekuasaan yang
lebih besar dan dengan hak mengambil keputusan yang mengikat atas dasar
mayoritas. Tugas UNCI adalah membantu melancarkan perundingan-perundingan untuk
mengurus pengembalian kekuasaan pemerintah Republik; untuk mengamati pemilihan
dan berhak memajukan usul-usul mengenai berbagai hal yang dapat membantu
tercapainya penyelesaian.
Resolusi itu dirasa oleh bangsa
Indonesia masih ada kekurangan yakni bahwa Dewan Keamanan PBB tidak mendesak
Belanda untuk mengosongkan daerah-daerah RI selain Yogyakarta. Di samping itu
Dewan Keamanan tidak memberikan sanksi atas pelanggaran terhadap resolusinya.
Akan tetapi, bangsa Indonesia sebagai bangsa yang cinta damai maka selalu
menaati semua isi resolusi sepanjang sesuai dengan prinsip Indonesia Merdeka
dan sikap berperang untuk mempertahankan diri.
C. Perjuangan Perlawanan bangsa
Indonesia di Daerah-Daerah
Kehadiran pasukan
Sekutu yang membawa orang-orang NICA pada tanggal 29 September 1945 sangat
mencemaskan rakyat dan pemerintah RI. Keadaan ini semakin memanas ketika NICA
mempersenjatai kembali bekas KNIL yang baru dilepaskan dari tahanan Jepang.
Para pejabat Republik Indonesia yang menerima kedatangan pasukan ini karena
menghormati tugas. Mereka menjadi sasaran teror dan percobaan pembunuhan. Oleh
karena itu sikap pasukan Sekutu yang tidak menghormati kedaulatan negara dan
bangsa Indonesia ini dihadapi dengan kekuatan senjata, oleh rakyat dan
pemerintah. Di beberapa daerah muncul perjuangan untuk mempertahankan
kemerdekaan sebagai berikut:
1.
Pertempuran
10 November di Surabaya
Pertempuran di Surabaya diawali dengan
pendaratan pasukan Sekutu dibawah pimpinan Brigjen A.W.S. Mallaby pada tanggal
25 Oktober 1945. Pada tanggal 27 Oktober, mereka menyerbu penjara dan
membebaskan perwira-perwira Sekutu yang sebelumnya ditawan oleh pejuang-pejuang
republik. Pembebasan tanpa izin pemerintah RI telah menimbulkan kemarahan
rakyat setempat, sehingga mereka secara serentak mengadakan serangan terhadap
Sekutu.
Dalam suatu pertempuran, Mallaby terbunuh.
Hal ini menimbulkan kemarahan Sekutu, sehingga komandan pasukan Sekutu di Jawa
Timur, Mayjend R. Mansergh mengeluarkan ultimatum. Ultimatum tersebut berisi :
a. Semua pemimpin Indonesia termasuk pemimpin
pergerakan, pemuda, polisi, dan petugas radio harus melapor kepada Inggris
dalam batas waktu sampai pukul 18.00 pada tanggal 9 November 1945
b. Mereka harus berbaris satu-persatu dengan
membawa senjata yang dimilikinya
c. setelah meletakkan senjata, mereka harus
berjalan dengan tangan di atas kepala menuju pos yang telah ditentukan
d. jika ultimatum ini tidak ditaati, Inggris
akan menghancurkan seluruh kota Surabaya
Ultimatum
tersebut tidak digubris oleh rakyat Surabaya yang didukung juga oleh
gubernurnya R. Soerjo. Semangat untuk membela dan mempertahankan kemerdekaan
telah mendorong rakyat rela berkorban. Bung Tomo salah seorang pimpinan para
pejuang selalu membangkitkan semangat perjuangan melalui radio agar rakyat
Surabaya tidak menghiraukan ultimatum Inggris. Akhirnya, pasukan Inggris dan
Belanda menggempur Surabaya dari segala jurusan dengan persenjatan berat dan
lengkap pada tanggal 10 November 1945. Penduduk Surabaya bertempur mati-matian
sehingga banyak korban yang tewas. Pertempuran di Surabaya bagi pasukan Inggris
sendiri merupakan perang terbesar yang dialaminya setelah Perang Dunia II,
sehingga mereka menyebutnya “neraka”. Peristiwa tanggal 10 November tersebut
kemudian diperingati sebagai Hari Pahlawan.
2. Bandung Lautan Api (23 Maret 1946)
Pada
bulan Oktober 1945, Tentara Republik Indonesia (TRI) dan pemuda serta rakyat
sedang berjuang melawan tentara Jepang untuk merebut senjata dari tangan
Jepang. Pada saat itu, pasukan AFNEI sudah memasuki kota Bandung. Pasukan AFNEI
menuntut pasukan Indonesia untuk menyerahkan senjata. Disamping itu, TRI harus
mengosongkan kotra Bandung bagian utara paling lambat tanggal 29 Oktober 1945.
Tuntutan
dari AFNEI tersebut tidak diindahkan oleh TRI maupun rakyat Bandung. Dipimpin
oleh Arudji Kartawinata, TRI dan pemuda Bandung melakukan serangan terhadap
kedudukan AFNEI. Pertempuran itu berlanjut hingga memasuki tahun 1946. Pada
tanggal 23 maret 1946, AFNEI kembali mengeluarkan ultimatum supaya TRI
meninggalkan kota Bandung. Ultimatum itu diperkuat dengan adanya perintah dari
pemerintah pusat Jakarta supaya TRI meninggalkan Bandung.
Pemerintah
dari pusat tersebut memang bertentangan dengan instruksi dari markas TRI di
Yogyakarta. Sebelum meninggalkan Bandung, TRI mengadakan perlawanan dengan cara
membumihanguskan kota Bandung bagian selatan. Tindakan itu membawa akibat fatal
bagi pasukan AFNEI, karena mengalami kesulitan akomodasi dan logistik di kota
Bandung. Tindakan membumihanguskan kota dikenal dengan Bandung Lautan Api.
3. Peristiwa Palagan Ambarawa (21
November – 15 Desember 1945)
Pertempuran di Ambarawa terjadi pada tanggal
21 November 1945 dan berakhir tanggal 15 Desember 1945, antara pasukan TKR dan
laskar pemuda melawan pasukan Inggris. Peristiwa tersebut dilatar-belakangi
sebuah insiden di Magelang sesudah mendaratnya Brigade Artileri dari Divisi
India ke-23 di Semarang. Pihak RI memperkenankan mereka untuk mengurus tawanan
perang yang berada di penjara Ambarawa dan Magelang. Tetapi kedatangan pasukan
Inggris ternyata diikuti oleh pasukan NICA yang kemudian mempersenjati para
bekas tawanan perang Jepang tersebut. Maka pecahlah pertempuran di
Ambarawa-Magelang.
Pada waktu itu, TKR dibawah pimpinan Panglima
Divisi V Banyumas, Kolonel Soedirman dan berhasil memukul mundur Sekutu sampai
ke Semarang pada tanggal 15 Desember 1945. Kemenangan di Ambarawa itu mempunyai
arti yang sangat penting karena letaknya yang strategis. Apabila musuh
menguasai Ambarawa, mereka bisa mengancam tiga kota utama di Jawa Tengah, yaitu
Surakarta (Solo), Magelang, dan terutama Yogyakarta yang merupakan tempat
kedudukan markas tertinggi TKR. Pertempuran di Ambarawa tersebut terkenal
dengan sebutan “Palagan Ambarawa”, dan sampai sekarang selalu diperingati sebagai
“Hari Infanteri” oleh TNI-AD.
4. Pertempuran Medan Area ( 10
Desember 1945)
Berita Proklamasi
Kemerdekaan baru sampai di Medan pada tanggal 27 Agustus 1945. Hal ini
disebabkan sulitnya komunikasi dan adanya sensor dari tentara Jepang. Berita
tersebut dibawa oleh Mr. Teuku M. Hassan yang diangkat menjadi Gubernur
Sumatra. Ia ditugaskan oleh pemerintah untuk menegakkan kedaulatan Republik
Indonesia di Sumatera dengan membentuk Komite Nasional Indonesia di wilayah
itu. Pada tanggal 9 Oktober 1945 pasukan Sekutu mendarat di Sumatera Utara di
bawah pimpinan Brigadir Jenderal T.E.D. Kelly. Serdadu Belanda dan NICA ikut
membonceng pasukan ini yang dipersiapkan mengambil alih pemerintahan. Pasukan
Sekutu membebaskan para tawanan atas persetujuan Gubernur Teuku M. Hassan. Para
bekas tawanan ini bersikap congkak sehingga menyebabkan terjadinya insiden di
beberapa tempat. Achmad Tahir, seorang
bekas perwira tentara Sukarela memelopori terbentuknya TKR Sumatra Tirnur. Pada
tanggal l0 Oktober 1945. Di samping TKR, di Sumatera Timur terbentuk
Badan-badan perjuangan dan laskar-laskar partai. Pada tanggal 18 Oktober 1945
Brigadir Jenderal T.E.D. Kelly memberikan ultimatum kepada pemuda Medan agar
menyerahkan senjatanya. Aksi-aksi teror mulai dilakukan oleh Sekutu dan NICA.
Pada tanggal 1 Desember 1945 Sekutu memasang papan-papan yang bertuliskan Fixed
Boundaries Medan Area di berbagai sudut pinggiran kota Medan. Bagaimana sikap
para pemuda kita? Mereka dengan gigih membalas setiap aksi yang dilakukan pihak
Inggris dan NICA. Pada tanggal 10 Desember 1945 pasukan Sekutu melancarkan
serangan militer secara besar-besaran dengan menggunakan pesawat-pesawat
tempur. Pada bulan April 1946 pasukan Inggris berhasil mendesak pemerintah RI
ke luar Medan. Gubernur, Markas Divisi TKR, Walikota RI pindah ke Pematang
Siantar. Walaupun belum berhasil menghalau pasukan Sekutu, rakyat Medan terus berjuang
dengan membentuk Laskar Rakyat Medan Area.
Selain di daerah Medan, di daerah-daerah
sekitarnya juga terjadi perlawanan rakyat terhadap Jepang, Sekutu, dan Belanda.
Di Padang dan Bukittinggi pertempuran berlangsung sejak bulan November 1945.
Sementara itu dalam waktu yang sama di Aceh terjadi pertempuran melawan Sekutu.
Dalam pertempuran ini Sekutu memanfaatkan pasukan-pasukan Jepang untuk
menghadapi perlawanan rakyat sehingga pecah pertempuran yang dikenal dengan
peristiwa Krueng Panjol Bireuen. Pertempuran di sekitar Langsa/Kuala Simpang
Aceh semakin sengit ketika pihak rakyat dipimpin langsung oleh Residen Teuku
Nyak Arif. Dalam pertempuran ini pejuang kita berhasil mengusir Jepang. Dengan
demikian di seluruh Sumatera rakyat bersama pemerintah membela dan
mempertahankan kemerdekaan.
5. Peristiwa Merah Putih di Manado (14
Februari 1946)
Peristiwa Merah Putih di Manado terjadi tanggal 14
Pebruari 1946. Para pemuda tergabung dalam pasukan KNIL (Koninklijk Nederlands
Indische Leger). Kompeni VII bersama laskar rakyat dari barisan pejuang
melakukan perebutan kekuasaan pemerintahan di Manado, Tomohon dan Minahasa.
Sekitar 600 orang pasukan dan pejabat Belanda berhasil ditahan. Pada tanggal 16
Pebruari 1946 mereka mengeluarkan surat selebaran yang menyatakan bahwa
kekuasaan di seluruh Manado telah berada di tangan bangsa Indonesia. Untuk
memperkuat kedudukan Republik Indonesia, para pemimpin dan pemuda menyusun
pasukan keamanan dengan nama Pasukan Pemuda Indonesia yang dipimpin oleh Mayor
Wuisan.
Bendera Merah Putih dikibarkan di seluruh pelosok
Minahasa hampir selama satu bulan, yaitu sejak tanggal 14 Pebruari 1946. Dr.
Sam Ratulangi diangkat sebagai Gubernur Sulawesi bertugas untuk memperjuangkan
keamanan dan kedaulatan rakyat Sulawesi. Ia memerintahkan pembentukan Badan
Perjuangan Pusat Keselamatan Rakyat. Dr. Sam Ratulangi membuat petisi yang
ditandatangani oleh 540 pemuka masyarakat Sulawesi. Dalam petisi itu dinyatakan
bahwa seluruh rakyat Sulawesi tidak dapat dipisahkan dari Republik Indonesia.
Oleh karena petisi itu, pada tahun 1946, Dr. Sam Ratulangi ditangkap dan
dibuang ke Serui (Irian Barat dan sekarang Papua)
6. Pertempuran Lima Hari di Semarang
Pada tanggal 15 — 20 Oktober
1945 di Semarang terjadi pertempuran hebat antara pejuang Indonesia dengan tentara
Jepang. Peristiwa ini diawali dengan adanya desas-desus bahwa cadangan air
minum di Candi, Semarang diracun oleh Jepang. Untuk membuktikan kebenarannya,
Dr. Karyadi, kepala laboratorium Pusat Rumah Sakit Rakyat melakukan
pemeriksaan. Pada saat melakukan pemeriksaan, ia ditembak oleh Jepang sehingga
gugur. Dengan gugurnya Dr. Karyadi kemarahan rakyat khususnya pemuda tidak
dapat dihindarkan dan terjadilah pertempuran yang menimbulkan banyak korban
jiwa. Untuk mengenang peristiwa itu, di Semarang didirikan Tugu Muda. Untuk
mengenang jasa Dr. Karyadi diabadikan menjadi nama sebuah Rumah Sakit Umum di
Semarang.
Selain
perjuangan perjuangan di atas masih banyak lagi perjuangan yang dilakukan para
pahlawan kita demi mempertahankan kemerdekaan Indonesia Seperti pertempuran
empat hari di surakarta, Perisiwa Merah
Putih di Biak, pertempuran di teluk cirebon, dll
D. Perjuangan Diplomasi Indonesia
dalam Mempertahankan Kemerdekaan
Selaian
berjuang mempertahankan Indonesia melalui perjuangan fisik, Indonesia juga berusaha
tetap mempertahankan kemerdekaanya melalui perjuangan Diplomasi. Diplomasi artinya perundingan/perjanjian yang dibuat
untuk disepakati. Para pejuang diplomasi Indonesia berunding dengan Belanda
untuk membuat perjanjian yang akan dilaksanakan.
Berikut adalah berbagai perjuangan diplomasi kemerdekaan Indonesia:
1.
Pertemuan
Soekarno-Van Mook
Pertemuan
antara wakil-wakil Belanda dengan para pemimpin Indonesia diprakarsai oleh Pang
lima AFNEI Letnan Jenderal Sir Philip Christison pada tanggal 25 Oktober 1945.
Dalam pertemuan tersebut pihak Indonesia diwakili oleh Soekarno, Mohammad
Hatta, Ahmad Sobardjo, dan H. Agus Salim, sedangkan pihak Belanda diwakili Van
Mook dan Van Der Plas. Pertemuan ini merupakan pertemuan untuk menjajagi
kesepakatan kedua belah pihak yang berselisih. Presiden Soekamo mengemukakan
kesediaan Pemerintah Republik Indonesia untuk berunding atas dasar pengakuan
hak rakyat Indonesia untuk menentukan nasibnya sendiri. Sedangkan Van Mook
mengemukakan pandangannya mengenai masalah Indonesia di masa depan bahwa
Belanda ingin menjalankan untuk Indonesia menjadi negara persemakmuran
berbentuk federal yang memiliki pemerintah sendiri di lingkungan kerajaan
Belanda. Yang terpenting menurut Van Mook bahwa pemerintah Belanda akan
memasukkan Indonesia menjadi anggota Perserikatan Bangsa-Bangsa. Tindakan Van
Mook tersebut disalahkan oleh Pemerintah Belanda terutama oleh Parlemen, bahkan
Van Mook akan dipecat dari jabatan wakil Gubernur Jenderal Hindia Belanda
(Indonesia).
2. Pertemuan Syahrir-Van Mook
Pertemuan ini
dilaksanakan pada tanggal 17 November 1945 bertempat di Markas Besar Tentara
Inggris di Jakarta ( Jalan Imam Bonjol No.1). Dalam pertemuan ini pihak Sekutu
diwakili oleh Letnan Jenderal Christison, pihak Belanda oleh Dr. H.J. Van Mook,
sedangkan delegasi Republik Indonesia dipimpin oleh Perdana Menteri Sutan
Sjahrir. Sebagai pemrakarsa pertemuan ini, Christison bermaksud mempertemukan
pihak Indonesia dan Belanda di samping menjelaskan maksud kedatangan tentara
Sekutu, akan tetapi pertemuan ini tidak membawa hasil.
3. Perundingan Syahrir-Van Mook
Pertemuan-pertemuan
yang diprakarsai oleh Letnan Jenderal Christison selalu mengalami kegagalan.
Akan tetapi pemerintah Inggris terus berupaya mempertemukan Indonesia dengan
Belanda bahkan ditingkatkan menjadi perundingan. Untuk mempertemukan kembali
pihak Indonesia dengan pihak Belanda, pemerintah Inggris mengirimkan seorang
diplomat ke Indonesia yakni Sir Archibald Clark Kerr sebagai penengah. Pada
tanggal 10 Februari 1946 perundingan Indonesia-Belanda dimulai. Pada waktu itu
Van Mook menyampaikan pernyataan politik pemerintah Belanda antara lain sebagai
berikut:
1. Indonesia
akan dijadikan negara Commonwealth berbentuk federasi yang memiliki
pemerintahan sendiri di dalam lingkungan kerajaan Belanda.
2. Urusan
dalam negeri dijalankan Indonesia sedangkan urusan luar negeri oleh pemerintah
Belanda.
Selanjutnya
pada tanggal 12 Maret 1946 Sjahrir menyampaikan usul balasan yang berisi antara
lain sebagai berikut.
1. Republik
Indonesia harus diakui sebagai negara yang berdaulat penuh atas wilayah bekas
Hindia Belanda.
2. Federasi
Indonesia-Belanda akan dilaksanakan pada masa tertentu dan urusan luar negeri
dan pertahanan diserahkan kepada suatu badan federasi yang terdiri atas
orang-orang Indonesia dan Belanda.
Usul
dari pihak Indonesia di atas tidak diterima oleh pihak Belanda dan selanjutnya
Van Mook secara pribadi mengusulkan untuk mengakui Republik Indonesia sebagai
wakil Jawa untuk mengadakan kerja sama dalam rangka pembentukan negara federal
dalam lingkungan Kerajaan Belanda. Pada tanggal 27 Maret 1946 Sutan Sjahrir
mengajukan usul baru kepada Van Mook antara lain sebagai berikut:
1. Supaya
pemerintah Belanda mengakui kedaulatan de facto Rl atas Jawa dan Sumatera.
2. Supaya
RI dan Belanda bekerja sama membentuk Republik Indonesia Serikat (RIS).
3. RIS
bersama-sama dengan Nederland, Suriname, Curacao, menjadi peserta dalam ikatan
negara Belanda.
4. Perundingan di Hooge Veluwe
Perundingan ini
dilaksanakan pada tanggal 14 - 25 April 1946 di Hooge Veluwe (Negeri Belanda),
yang merupakan kelanjutan dari pembicaraan-pembicaraan yang telah disepakati
Sjahrir dan Van Mook. Para delegasi dalam perundingan ini adalah:
1. Mr.
Suwandi, dr. Sudarsono, dan Mr. A.K. Pringgodigdo yang mewakili pihak
pemerintah RI;
2. Dr.
Van Mook, Prof. Logemann, Dr. Idenburgh, Dr. Van Royen, Prof. Van Asbeck,
Sultan Hamid II, dan Surio Santosa yang mewakili Belanda, dan
3. Sir
Archibald Clark Kerr mewakili Sekutu sebagai penengah.
Perundingan
yang berlangsung di Hooge Veluwe ini tidak membawa hasil sebab Belanda menolak konsep
hasil pertemuan Sjahrir-Van Mook-Clark Kerr di Jakarta. Pihak Belanda tidak
bersedia memberikan pengakuan de facto kedaulatan RI atas Jawa dan Sumatra
tetapi hanya Jawa dan Madura serta dikurangi daerah-daerah yang diduduki oleh
Pasukan Sekutu. Dengan demikian untuk sementara waktu hubungan
Indonesia-Belanda terputus, akan tetapi Van Mook masih berupaya mengajukan usul
bagi pemerintahannya kepada pihak RI.
5. Perundingan Linggarjati
Walaupun Perundingan
Hooge Veluwe mengalami kegagalan akan tetapi dalam prinsipnya bentuk-bentuk
kompromi antara Indonesia dan Belanda sudah diterima dan dunia memandang bahwa
bentuk-bentuk tersebut sudah pantas. Oleh karena itu pemerintah Inggris masih
memiliki perhatian besar terhadap penyelesaian pertikaian Indonesia-Belanda
dengan mengirim Lord Killearn sebagai pengganti Prof Schermerhorn. Pada tanggal
7 Oktober 1946 Lord Killearn berhasil mempertemukan wakil-wakil pemerintah
Indonesia dan Belanda ke meja perundingan yang berlangsung di rumah kediaman
Konsul Jenderal Inggris di Jakarta. Dalam perundingan ini masalah gencatan
senjata yang tidak mencapai kesepakatan akhirnya dibahas lebih lanjut oleh
panitia yang dipimpin oleh Lord Killearn. Hasil kesepakatan di bidang militer
sebagai berikut:
1. Gencatan
senjata diadakan atas dasar kedudukan militer pada waktu itu dan atas dasar
kekuatan militer Sekutu serta Indonesia.
2. Dibentuk
sebuah Komisi bersama Gencatan Senjata untuk masalah-masalah teknis pelaksanaan
gencatan senjata.
Dalam
mencapai kesepakatan di bidang politik antara Indonesia dengan Belanda
diadakanlah Perundingan Linggajati. Perundingan ini diadakan sejak tanggal 10
November 1946 di Linggajati, sebelah selatan Cirebon. Delegasi Belanda dipimpin
oleh Prof. Scermerhorn, dengan anggotanya Max Van Poll, F. de Baer dan H.J. Van
Mook. Delegasi Indonesia dipimpin oleh Perdana Menteri Sjahrir, dengan
anggotaanggotanya Mr. Moh. Roem, Mr. Amir Sjarifoeddin, Mr. Soesanto
Tirtoprodjo, Dr. A.K. Gani, dan Mr. Ali Boediardjo. Sedangkan sebagai
penengahnya adalah Lord Killearn, komisaris istimewa Inggris untuk Asia
Tenggara. Hasil Perundingan Linggajati ditandatangani pada tanggal 25 Maret
1947 di Istana Rijswijk (sekarang Istana Merdeka) Jakarta, yang isinya adalah
sebagai berikut:
1. Belanda
mengakui secara de facto Republik Indonesia dengan wilayah kekuasaan yang
meliputi Sumatera, Jawa, dan Madura. Belanda harus sudah meninggalkan daerah de
facto paling lambat tanggal 1 Januari 1949.
2. Republik
Indonesia dan Belanda akan bekerjasama dalam membentuk Negara Indonesia
Serikat, dengan nama Republik Indonesia Serikat, yang salah satu negara
bagiannya adalah Republik Indonesia.
3. Republik
Indonesia Serikat dan Belanda akan membentuk Uni Indonesia-Belanda dengan Ratu
Belanda sebagai ketuanya.
Meskipun
isi perundingan Linggajati masih terdapat perbedaan penafsiran antara Indonesia
dengan Belanda, akan tetapi kedudukan Republik Indonesia di mata Internasional
kuat karena Inggris dan Amerika memberikan pengakuan secara de facto.
6. Perundingan Renville
Perbedaan penafsiran
mengenai isi Perundingan Linggajati semakin memuncak dan akhirnya Belanda
melakukan Agresi Militer pertama terhadap Indonesia pada tanggal 21 Juli 1947.
Atas prakasa Komisi Tiga Negara (KTN), maka berhasil dipertemukan antara pihak
Indonesia dengan Belanda dalam sebuah perundingan. Perundingan ini dilakukan di
atas kapal pengangkut pasukan Angkatan Laut Amerika Serikat “USS Renville” yang
sedang berlabuh di pelabuhan Tanjung Priok, Jakarta.
Perundingan Renville
ini dimulai pada tanggal 8 Desember 1947 di mana pihak Indonesia mengirimkan
delegasi yang dipimpin oleh Mr. Amir Syarifuddin, sedangkan pihak Belanda
dipimpin oleh R. Abdulkadir Widjojoatmodjo, seorang Indonesia yang memihak
Belanda. Hasil perundingan Renville baru ditandatangani pada tanggal 17 Januari
1948 yang intinya sebagai berikut:
1. Pemerintah
RI harus mengakui kedaulatan Belanda atas Hindia Belanda sampai pada waktu yang
ditetapkan oleh Kerajaan Belanda untuk mengakui Negara Indonesia Serikat (NIS).
2. Akan
diadakan pemungutan suara untuk menentukan apakah berbagai penduduk di
daerah-daerah Jawa, Madura, dan Sumatera menginginkan daerahnya bergabung
dengan RI atau negara bagian lain dari Negara Indonesia Serikat.
3. Tiap
negara (bagian) berhak tinggal di luar NIS atau menyelenggarakan hubungan
khusus dengan NIS atau dengan Nederland.
Akibat
dari perundingan Renville ini wilayah Republik Indonesia yang meliputi Jawa,
Madura, dan Sumatera menjadi lebih sempit lagi. Akan tetapi, RI bersedia
menandatangani perjanjian ini karena beberapa alasan di antaranya adalah karena
persediaan amunisi perang semakin menipis sehingga kalau menolak berarti
belanda akan menyerang lebih hebat. Di samping itu juga tidak adanya jaminan
bahwa Dewan Keamanan PBB dapat menolong serta RI yakin bahwa pemungutan suara
akan dimenangkan pihak Indonesia.
7. Persetujuan Roem-Royen
Ketika Dr. Beel
menjabat sebagai Wakil Tinggi Mahkota Belanda di Indonesia, ia mempunyai
pandangan yang berbeda dengan Van Mook tentang Indonesia. Ia berpendirian bahwa
di Indonesia harus dilaksanakan pemulihan kekuasaan pemerintah kolonial dengan
tindakan militer. Oleh karena itu pada tanggal 18 Desember 1948 Dr. Beel
mengumumkan tidak terikat dengan Perundingan Renville dan dilanjutkan tindakan
agresi militernya yang kedua pada tanggal 19 Desember 1948 pada pukul 06.00
pagi dengan menyerang ibu kota Rl yang berkedudukan di Yogyakarta. Dengan
peristiwa ini Komisi Tiga Negara (KTN) diubah namanya menjadi Komisi
Perserikatan Bangsa-Bangsa untuk Indonesia (United Nations Commission for
Indonesian atau UNCI). Komisi ini bertugas membantu melancarkan
perundingan-perundingan antara Indonesia dengan Belanda. Pada tanggal 7 Mei
1949 Mr. Moh. Roem selaku ketua delegasi Indonesia dan Dr. Van Royen selaku
ketua delegasi Belanda yang masing-masing membuat pernyataan sebagai berikut:
1. Pernyataan
Mr. Moh Roem
a. Mengeluarkan
perintah kepada “Pengikut Republik yang bersenjata” untuk menghentikan perang
gerilya.
b. Bekerja
sama dalam hal mengembalikan perdamaian dan menjaga ketertiban dan keamanan.
c. Turut
serta dalam Konferensi Meja Bundar di Den Haag dengan maksud untuk mempercepat
“penyerahan” kedaulatan yang sungguh-sungguh dan lengkap kepada Negara
Indonesia Serikat, dengan tidak bersyarat.
2. Pernyataan
Dr. Van Royen
a. Menyetujui
kembalinya Pemerintah Republik Indonesia ke Yogyakarta.
b. Menjamin
penghentian gerakan-gerakan militer dan pembebasan semua tahanan politik.
c. Tidak
akan mendirikan atau mengakui negara-negara yang berada di daerah-daerah yang
dikuasai RI sebelum tanggal 19 Desember 1948 dan tidak akan meluaskan negara
atau daerah dengan merugikan Republik
d. Menyetujui
adanya Republik Indonesia sebagai bagian dari Negara Indonesia Serikat.
e. Berusaha
dengan sungguh-sungguh agar Konferensi Meja Bundar segera diadakan setelah
Pemerintah RI kembali ke Yogyakarta.
8. Konferensi Meja Bundar (KMB)
Salah satu pernyataan Roem-Royen adalah segera
diadakan Konferensi Meja Bundar (KMB). Sebelum dilaksanakan KMB diadakanlah
Konferensi Inter - Indonesia antara wakil-wakil Republik Indonesia dengan BFO
(Bijjenkomst voor Federaal Overleg) atau Pertemuan Permusyawarahan Federal.
Konferensi ini berlangsung dua kali yakni tanggal 19 - 22 Juli 1949 di
Yogyakarta dan pada tanggal 31 Juli - 2 Agustus 1949 di Jakarta. Salah satu
keputusan penting dalam konferensi ini ialah bahwa BFO menyokong tuntutan
Republik Indonesia atas penyerahan kedaulatan tanpa ikatanikatan politik
ataupun ekonomi. Pada tanggal 23 Agustus sampai 2 November 1949 diadakanlah
Konferensi Meja Bundar di Den Haag (Belanda). Sebagai ketua KMB adalah Perdana
Menteri Belanda, Willem Drees. Delegasi RI dipimpin oleh Drs. Moh. Hatta, BFO
di bawah pimpinan Sultan Hamid II dari Pontianak, dan delegasi Be1anda dipimpin
Van Maarseveen sedangkan dari UNCI sebagai mediator dipimpin oleh Chritchley.
Pada tanggal 2 November 1949
berhasil ditandatangani persetujuan KMB. Isi dari persetujuan KMB adalah
sebagai berikut:
1.
Belanda mengakui kedaulatan kepada
Republik Indonesia Serikat pada akhir bulan Desember 1949.
2.
Mengenai Irian Barat penyelesaiannya
ditunda satu tahun setelah pengakuan kedaulatan.
3.
Antara RIS dan kerajaan Belanda akan diadakan
hubungan Uni Indonesia - Belanda yang akan diketuai Ratu Belanda.
4.
Segera akan dilakukan penarikan mundur
seluruh tentara Belanda.
5.
Pembentukan Angkatan Perang RIS (APRIS)
dengan TNI sebagai intinya.
Dari
hasil KMB itu dinyatakan bahwa pada akhir bulan Desember 1949 Indonesia diakui
kedaulatannya oleh Belanda. Oleh karena itu pada tanggal 27 Desember 1949
diadakanlah penandatanganan pengakuan kedaulatan di negeri Belanda. Pihak
Belanda ditandatangani oleh Ratu Juliana, Perdana Menteri Dr. Willem Drees,
Menteri Seberang Lautan Mr. AM . J.A Sassen. Sedangkan delegasi Indonesia
dipimpin oleh Drs. Moh. Hatta. Pada waktu yang sama di Jakarta, Sri Sultan
Hamengkubuwono IX dan Wakil Tertinggi Mahkota AH.J. Lovink menandatangani
naskah pengakuan kedaulatan. Dengan diakuinya kedaulatan RI oleh Belanda ini
maka Indonesia berubah bentuk negaranya berubah menjadi negara serikat yakni
Republik Indonesia Serikat (RIS).
E. Faktor yang Memaksa Belanda Keluar
dari Indonesia
Ketika Belanda
melakukan agresi militemya yang kedua, tanggal 19 Desember 1948, Dewan Keamanan
PBB merasa tersinggung karena tindakan Belanda tersebut telah melanggar
persetujuan gencatan senjata yang telah diprakasai oleh Komisi Tiga Negara
(KTN). Di dalam negeri Indonesia pun Belanda tidak memperoleh dukungan politik
bahkan para pejuang melakukan gerilya maupun serangan umum. Menghadapi kondisi
yang demikian ini maka Belanda mengubah sikapnya yakni sepakat dilakukan
gencatan senjata. Penghentian tembak menembak akan mulai berlaku di Jawa
tanggal 11 Agustus 1949, dan di Sumatera pada tanggal 15 Agustus 1949. Pada
masa gencatan senjata itulah berlangsung Konferensi Meja Bundar di Den Haag
pada tanggal 23 Agustus 1949. Dalam konferensi ini hasil utamanya antara lain
bahwa Belanda akan mengakui kedaulatan Republik Indonesia Serikat pada akhir
bulan Desember 1949. dengan demikian hal ini memaksa Belanda harus keluar dari
bumi Indonesia.
Berikut ini adalah faktor yang memaksa
Belanda Keluar dari Indonesia:
§ Faktor dari Dalam
1.
Dari
dalam negeri Indonesia, Belanda menyadari bahwa kekuatan militernya tidak cukup
kuat untuk memaksa RI tunduk kepadanya.
2.
Perang
yang berkepanjangan mengakibatkan hancurnya perkebunan dan pabrik-pabrik
Belanda. Untuk menghindarkan hal itu Belanda harus mengubah strateginya.
3.
Belanda
tidak mendapat dukungan politik dari dalam negeri Indonesia. Ketika membujuk
Sultan Hamengkubuwono IX untuk menjadi pemimpin sebuah negara di Jawa maka
ditolaknya.
4.
Para
pejuang Republik Indonesia terus melakukan perang gerilya dan serangan umum.
§ Faktor dari Luar
PBB dan Amerika Serikat mengambil sikap yang
lebih tegas terhadap Belanda. Amerika Serikat mengancam akan menghentikan
bantuan pembangunan yang menjadi tumpuan perekonomian Belanda. Dengan adanya
faktor-faktor di atas maka diselenggarakanlah KMB yang bermuara diakuinya
kedaulatan Republik Indonesia Serikat pada tanggal 27 Desember 1949 sehingga
memaksa Belanda keluar dari bumi Indonesia.
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Kedatangan pasukan Sekutu ke Indonesia yang diboncengi
oleh NICA membawa ancaman bagi keberlangsungan kemerdekaan bangsa Indonesia.
Belanda ternyata ingin menjajah kembali negara kita yang telah diproklamasikan
pada tanggal 17 Agustus 1945.
Untuk mempertahankan kemerdekaan, para pemimpin
nasional menggunakan cara diplomasi dan perjuangan fisik. Langkah diplomasi
dilakukan baik melalui forum internasional, seperti Kegiatan diplomasi
(perundingan) dengan Belanda, misalnya Perundingan Linggarjati, Perundingan
Renville, Perundingan Roem-Royen, hingga KMB. Perjuangan fisik dalam
mempertahankan kemerdekaan ditempuh oleh rakyat di berbagai pelosok Nusantara
bersama dengan tentara. Beberapa contoh perjuangan fisik tersebut antara lain
Palagan Ambarawa, Bandung Lautan Api, Pertempuran Margarana, Pertempuran Medan
Area, Serangan Umum 1 Maret 1949,dll.
Setelah perjuangan yang cukup panjang, akhirnya
tanggal 27 Desember 1949 Belanda mengakui kedaulatan Indonesia sebagai bangsa
yang merdeka sejajar dengan bangsa-bangsa lain di dunia.
B. Saran
Adapun dari penulisan
makalah ini saya selaku penulis
menyarankan kepada generasi muda agar tetap mempertahankan kemerdekaan
Indonesia dengan cara ikut berpartisipasi dalam mengisi kemerdekaan Indonesia, dan mencontoh semangat para pahlawan terdahulu,
betapa sulitnya mereka meraih kemerdekaan dan mempertahankannya hingga
sekarang.
DAFTAR
PUSTAKA
Rusmini, S. Pd & Soedarman,
S.Pd. 2007. Ips Terpadu SMP kelas VIII semester 2. Jakarta : Putra
Angkasa.
http://renggap.co.cc/perjuangan-mempertahankan-kemerdekaan-republik-indonesia/Bottom
of Form
http://www.crayonpedia.org/mw/BAB_3._USAHA_PERJUANGAN_MEMPERTAHANKAN_KEMERDEKAAN_INDONESIA
0 komentar nya:
Post a Comment